Seandainya saja bunuh diri itu halal, saya pasti lakukan dulu sebelum
jenazah putra saya satu-satunya dan istri dikuburkan. Untuk apa lagi
saya hidup ketika seluruh keluarga saya yang selama ini menjadi
penghibur hati dan harapan saya telah pergi meninggalkan dunia ini untuk
selama-lamanya. Ketika saya bertanya pada Pak Haji yang membesarkan
hati waktu itu, ia hanya diam saja. Saat histeris dan berteriak-teriak
marah pada diri sendiri yang tak bisa mencegah musibah itu, tetap saja
tak seorangpun berkata apa tujuan hidup saya berikutnya selain kata-kata
membujuk untuk sabar. Sabar? Untuk apa?
Saya seorang suami, menikahi wanita Aceh
yang baik hati. Ia tak terlalu cantik, tapi orangnya sangat baik dan
benar-benar polos. Saat menikahinya, gadis Aceh itu masih sangat muda.
Umurnya saja baru 17 tahun dan baru tamat SMU. Saya memboyongnya ke
Jakarta setelah berhenti bekerja di Aceh. Sayangnya saat bencana tsunami
melanda Meulaboh, seluruh keluarga istri saya menghilang tanpa jejak.
Waktu saya dan istri berhasil mencapai kota itu beberapa minggu setelah
bencana, tak ada yang tersisa selain lantai keramik rumah yang juga
terkelupas sebagian. Istri saya sempat shock hebat. Tapi akhirnya kami
bisa melewati masa-masa itu dengan saling menguatkan.
Lama sekali kami baru dikaruniai seorang
anak, karena istri saya memiliki kista endometrium. Kami sempat berobat
di dokter, tapi harus dioperasi. Istri saya tidak berani menjalani
operasi, lalu kami pun pindah ke pengobatan alternatif. Setelah
menjalani pengobatan lebih dari setahun, barulah istri hamil. Tepatnya
lima tahun setelah menikah, istri saya melahirkan seorang anak
laki-laki. Saya bangga bukan main karena anak itu terlahir dengan ukuran
tubuh hampir 4 kg. Hebatnya lagi, istri saya melahirkan normal.
Pekerjaan saya yang baru juga sekarang
benar-benar mengangkat ekonomi keluarga kami. Saya bisa membeli rumah
dan mobil di tahun yang sama setelah Raihan lahir. Kebanggaan saya makin
lengkap ketika Raihan terpilih sebagai pemenang lomba bayi sehat.
Dua tahun berlalu, Raihan tumbuh jadi
anak yang aktif. Dia sudah pandai bicara, hanya bisa tidur kalau saya
yang menidurkannya. Makanya saya pun membeli rumah dekat kantor, agar
tiap siang bisa pulang sebentar untuk mengurus Raihan. Kata orang-orang,
Raihan mirip sekali dengan Bapaknya. Setali tiga uang dalam segala hal.
Raihan memang manja sekali sama saya. Kalau hanya bersama Ibunya, dia
biasa-biasa saja tapi begitu saya datang, maka penyakit manjanya
langsung kambuh. Maunya digendong saja. Saat itu Raihan suka sekali
kalau digelitiki, tertawanya bisa kedengaran sampai ke seluruh kompleks.
Saya sering membawanya digendong di pundak sambil berkeliling kompleks
dan menyapa para tetangga. Semua orang bilang, duh cakepnya Raihan ini.
Raihan memang mewarisi mata Ibunya dan rambut ikal saya yang tebal.
Kulitnya putih dan badannya tak terlalu gemuk.
Saya pikir hidup saya sudah sangat
sempurna. Istri yang manis, anak yang ganteng dan tambah lengkap lagi
ketika istri saya memberitahu kalau ia sudah terlambat haid dua bulan.
Waktu itu saya berniat mengajaknya ke dokter untuk periksa. Saya
berharap, kali ini dia melahirkan anak perempuan agar melengkapi
kebahagiaan saya. Tapi karena di kantor lagi sibuk, saya memintanya
pergi sendiri dengan taksi.
Istri saya bilang saat itu, dia maunya
saya yang mengantar. Karena itu saya pun mengalah dan berjanji nanti
akhir minggu itu kami ke dokter.
Siapa sangka itulah awal malapetaka. Saat
tidak ada orang di rumah, istri dan anak saya mengalami musibah. Saya
tak bisa dihubungi karena saat itu berada dalam pesawat. Saya melakukan
perjalanan dinas ke Nusa Tenggara Barat. Ketika sampai, saya hanya
dikabari kalau istri dalam keadaan koma di rumah sakit. Detik itu juga
saya memburu tiket untuk pulang ke Jakarta. Di bandara, saya menghubungi
handphone istri. Tapi yang menjawab Bapak saya yang meminta saya pulang
ke rumah. Padahal saya mau langsung ke rumah sakit melihat istri. Bapak
hanya meminta saya pulang dulu anak saya di rumah yang katanya
memerlukan saya.
Sampai di rumah, lemas lutut saya ketika
melihat bendera kuning kecil sudah berkibar di pagar rumah saya. Ketika
itu saya mengira hanyalah istri yang pergi meninggalkan saya untuk
selamanya. Tapi ternyata ketika masuk, dua jenazah berjajar menanti
kepulangan saya. Saya bingung, jenazah siapa ini?
Bapak mencegah saya melihat kedua
jenazah, tapi saya terus memaksa. Dan ketika melihat jenazah anak saya
juga terbaring di samping jenazah istri saya, rasanya hati saya hancur
bukan main menyaksikan dua orang yang paling saya sayangi sudah tiada.
Bapak pun menceritakan apa yang terjadi sesungguhnya, kalau Istri saya
mengalami pendarahan hebat, lalu ia meminta tolong tetangga kami untuk
dibawa ke rumah sakit.
Karena terburu-buru, mereka melewati lintasan kereta api tanpa
mendengar sinyal kereta mau lewat. Dan ketiganya tewas di tempat,
tertabrak kereta.
Saya marah sekali. Menyesali diri sendiri
karena tak bisa mencegah musibah terberat dalam hidup saya.
Minggu-minggu pertama itu, saya seperti orang gila dan terus
berteriak-teriak marah. Bapak dan Ibu berkali-kali menyuruh saya untuk
sholat. Tapi saya malah marah pada mereka dan menyalahkan mereka karena
tak mau menemani istri saya saat saya tinggal keluar kota. Ibu dan Bapak
sampai menangis mendengar kata-kata saya.
Setelah empat puluh hari lewat, Bapak
tetap tak mengizinkan saya hidup sendirian di rumah. Dia masih tinggal
bersama ibu. Bedanya ibu di kamarnya yang biasa kalau menginap di rumah
saya, sementara saya dan Bapak selalu tidur di kamar tempat Raihan biasa
bermain. Saya memang tidur melingkar terus di kasur tipis tempat Raihan
biasa bergulingan sendiri. Beberapa kali timbul keinginan untuk mati
menyusul mereka. Tapi Bapak terus mendampingi saya. Dia sholat di
samping saya, berzikir kalau sedang duduk menemani bahkan sesekali dia
mencoba berbicara dengan saya. Tapi pikiran saya benar-benar kosong
melompong, hati dan jiwa saya seperti ikut mati bersama keluarga saya.
Suatu subuh, saya terbangun dan
sayup-sayup mendengar Bapak berzikir di dekat saya yang lagi tidur. Saya
mendengar Bapak juga berdoa lama sekali, entah apa isi doanya tapi
Bapak sampai terisak-isak menangis. Saya juga ikut meneteskan airmata
dan baru menyadari kalau Raihan juga adalah cucu satu-satunya Bapak.
Saya memang punya tiga orang adik, tapi baru saya yang sudah menikah dan
punya anak.
Saya duduk dan menyentuh bahu Bapak. Bapak menoleh, tapi berusaha keras tersenyum. Sholat, nak. Doakan anak dan istrimu, ya!
Saat itulah, saya seperti disadarkan dari
kesedihan. Saya pun bangkit dan untuk pertama kalinya setelah musibah
saya sholat kembali. Saya menangis ketika berdoa, menyesal dan memohon
ampun.
Bapak duduk di samping saya menunggu saya
selesai sholat. Ketika selesai, Bapak dan saya duduk berdampingan
seperti saya masih kecil dulu. Pelan-pelan Bapak menasehati saya.
Kehilangan anak dan istrimu memang
musibah besar dalam hidupmu, Nak. Tapi terus menerus menangisi mereka,
itu perbuatan yang sia-sia. Di dunia ini kita hanya bersentuhan dengan
dua hal, perbuatan baik atau perbuatan buruk. Itu saja. Karena Allah
lebih mencintai anak dan istrimu, agar mereka berdua tak berbuat buruk
dan berdosa lebih banyak itu sebabnya Allah mengambil dan menjaga mereka
berdua. Ini juga sebagai ujian untukmu dan untuk kita sekeluarga.
Apakah kita bisa bersama-sama keluar dari ujian kesabaran ini dan
menjadi semakin beriman, atau malah jatuh menjadi hambaNya yang berputus
asa?
Kalau mau jujur, Bang. Andaikata Bapak
ini bisa menangis darah, maka darahlah yang keluar dari mata ini, Nak.
Bapak juga sakit di dalam hati sini karena Bapak juga sayang pada
menantu Bapak yang soleha dan anakmu yang gagah itu. Tapi seluruh
kebahagiaan dunia itu fana. Kebahagiaan sesungguhnya nanti di surga,
anakku. Almarhumah istri dan anakmu sudah menantimu di pintu surga.
Maukah kau bertahan tetap hidup di dunia dan menjalani hidup yang lebih
baik agar nanti bisa bertemu mereka lagi? Dengan mendekatkan diri pada
Illahi, insya Allah kau juga bisa melewati ujian ini dengan mudah.
Jangan sia-siakan penantian mereka di sana dengan membuat dirimu
terjerumus dosa, Bang.
Saya menangis, kali ini bukan karena
kehilangan tapi menyesali perbuatan saya selama ditinggalkan orang-orang
tercinta. Saya bukannya mendekatkan diri dengan mereka, tapi malah
semakin menjauhi mereka. Mereka menanti saya di pintu surga, saya malah
berjalan menuju neraka. Saya pun berjanji pada Bapak untuk berubah. Dan
sekarang sudah berbulan-bulan berlalu dari hari yang malang itu, saya
masih belum bisa melupakan kenangan indah keluarga saya itu, hanya
sekarang saya terus berupaya tetap berada di jalan yang lurus, jalan di
mana kelak berujung dengan surga tempat kedua orang yang saya cintai
menunggu.
Tunggu saya di pintu surga, sayangku dan kebanggaanku! Nanti kita berjalan bersama menuju kebahagiaan sejati itu.
*****
Taurus In Motivation
0 komentar:
Posting Komentar