Setiap hari ada dia
Aku mendongak menatap gadis yang
tersenyum manis di hadapanku. Dengan senyum polos, mata yang berbinar
itu mengedip padaku sekali lagi, lalu ia tertawa. Memamerkan bahagia
yang jelas tergambar di wajah mungilnya. Namun, tanpa menunggu responku,
ia kembali berlari meninggalkanku. Bergabung bersama teman-teman
barunya.
Ia tahu aku mengawasinya. Sesekali ia
masih menoleh, melemparkan senyum setelah itu kembali sibuk bercanda
tawa dengan orang-orang yang mengelilinginya. Dia bintang diantara
gadis-gadis itu. Dulu begitu, sekarang pun masih. Senyum, canda,
kata-katanya selalu membuat orang lain ikut merasa bahagia. Sama seperti
mereka, aku pun pernah merasakan cahayanya.
Aku akan menjadi istri yang paaaaaaling bahagia sedunia! katanya ketika itu.
Aku hanya meringis dan balas menjawab, Dan aku akan menjadi suami paaaaaling menderita di dunia!
Aaah, Kak Zoe! Kok gitu sih? Bibir gadis
mungil itu merengut kesal. Tapi aku tak peduli. Seperti hari ini, esok,
lusa bahkan sampai kapanpun, aku takkan pernah ingin menjadikan dirinya
sebagai bagian penting dari hidupku. Buatku, ia hanyalah gadis tetangga
yang masih kecil dan naif.
Kimberley jatuh cinta padaku sejak
pandangan pertama. Itu ungkapan hati yang dia suarakan hanya beberapa
hari setelah resmi menjadi tetanggaku. Gadis peranakan keturunan
Prancis-Jawa itu masih berusia 12 tahun ketika mengatakannya di hadapan
kedua orangtua kami saat acara makan malam di rumahnya. Aku masih SMA
kelas dua saat itu dan hanya bisa melongok lalu menahan malu luar biasa
karena digoda habis-habisan oleh Mama dan Papa. Kakakku Ray yang tadinya
sama sekali tak bersemangat hadir, benar-benar menjadikan makan malam
itu bencana yang lengkap untukku. Ia bahkan setuju menjadi mak comblang
untuk cinta sepihak Kimberley.
Waktu berlalu, tapi cinta Kim seakan tak
pernah berubah. Aku mulai lelah menghadapinya. Beberapa kali kukatakan
bahwa aku tak pernah mencintainya.
Aku tak tahu cinta itu apa, Kak Zoe. Aku
hanya tahu. Aku selalu ingin bersama Kakak. Aku ingin lihat wajah Kakak,
aku ingin selalu bersama Kakak. Daddy bilang thats love, Kim!
Jadi aku pikir, aku pasti jatuh cinta. Aku akan pastikan nanti kalau aku
sudah dewasa. Tapi sementara menunggu itu, aku hanya ingin Kak Zoe
tahu, katanya saat aku bertanya arti cinta dalam pandangannya.
Dan ketika hatiku sempat terpaut pada
teman sekelasku yang manis, tanpa malu-malu Kim mendatangi gadis itu dan
memberitahu segalanya. Tanpa sempat kuungkap isi hatiku sendiri, Kim
sukses membuatku malu sekali lagi. Aku marah besar.
Buatku, kamu hanya anak kecil! Tidak lebih tidak kurang! Aku suka sama siapa itu urusanku, not your business, Kim! Go to hell and keep your step out from my life! bentakku di depan Ray. Ray berusaha menyabarkanku, tapi aku benar-benar marah pada gadis kecil itu.
Cinta Kim memaksa aku mengambil keputusan
paling ekstrim sepanjang hidupku. Aku yang tak pernah peduli dengan
pelajaran di sekolah, hampir tak pernah berprestasi apapun dan hanya
punya satu tujuan hidup untuk menjadi pembalap, berubah dalam semalam.
Demi bisa keluar dari rumah dan tinggal di negara lain untuk
menghindarinya, aku berjuang keras memperbaiki nilai-nilaiku di tahun
terakhir SMA. Papa mengizinkan aku pindah asalkan aku kuliah di
universitas pilihannya. Kekerasan hati membawaku pada keberhasilan.
Tangis Kim berhari-hari tak mampu meredam keinginan untuk pergi
meninggalkannya.
Tadinya kukira dengan jarak dua benua,
maka segalanya pun berakhir. Aku meninggalkan pesan agar Ray, Mama atau
Papa tidak menggangguku dengan segala urusan Kim. Kukatakan aku ingin
menyelesaikan studi secepat mungkin demi penghematan biaya. Aku ingin
secepatnya menyelesaikan program engineering yang terpaksa
kuambil sebagai bagian dari perjanjian dengan Papa lalu bekerja sejauh
mungkin dari Jakarta, kalau perlu tetap tinggal di Australia sampai Kim
menikahi orang lain. Itu rencanaku.
Kau kan hanya bilang kami tak boleh membicarakan dia, tapi tak pernah
melarang kami untuk memberikan alamat emailmu padanya. Tenang saja,
Zoe. Daddynya sudah menahan paspor Kim begitu dia tahu kamu di mana,
jadi dia takkan ke sana. Gampang, delete saja surat-suratnya kalau ada, ujar Ray berkelit ketika aku tahu dia memberi alamat surelku pada Kim.
Surat-surat elekronik Kim mulai berdatangan. Dan rasa sunyi di kota
yang asing akhirnya berhasil memancingku untuk mulai membaca email Kim.
How are you, Kak Zoe? Miss you so much here. Aku
masih selalu ingat Kakak, semua masih tentang Kakak. SMA memang
menarik, ada banyak teman baru di sini tapi aku masih tak bisa
menghilangkan kakak dari pikiran.
Apa kuliah begitu mengasyikkan sampai liburan semester pun kau tak
pernah pulang? Kakak, aku rindu sama Kak Zoe. Mama, Papa dan Kak Ray
juga. Pulang ya? Bisakah?
Hampir tiap hari Kim mengirimiku email bahkan foto-fotonya secara
rutin. Ia menceritakan semua hal yang mengisi hari-harinya tanpa diriku.
Tentang sekolah barunya, teman-temannya, keluarganya lalu berpindah
pada keluargaku, sekeliling rumahnya dan rumahku yang dianggapnya
seperti rumah kedua, Ia bahkan menyelipkan cerita tentang si kucing
kecil yang ia temukan saat pulang sekolah. Kucing yang kemudian ia
resmikan menjadi miliknya dengan nama Zokim. Nama gabungan antara aku
dan dia. Ia mengirimkan foto Zokim dengan tulisan di bagian belakang Zokim -Gods first giftfor Zoe & Kim
Setiap malam, saat aku sendirian di apartemenku, saat itulah waktuku
bersama email-email Kim. Waktu seakan berhenti ketika membaca
kisah-kisahnya di dalam email terbaru yang ia kirimkan. Aku bagai sebuah
diary yang tak bisa bicara, namun mengetahui semua isi hatinya. Hari,
bulan dan tahun berlalu. Di antara kesibukanku sebagai mahasiswa, aku
selalu menyempatkan diri membaca email Kim. Aku ikut tersenyum, tertawa,
murung, bahkan kecewa saat membaca curahan hati Kim. Email Kim seperti
sahabat yang menghiburku saat ia mengirimkan cerita-cerita lucu, seperti
kekasih yang memelukku dalam rindu, seperti teman yang berbagi beban
kesulitan. Nun jauh di sana.
Sampai suatu hari
Email-email itu tiba-tiba berhenti mendadak. Saat itu aku sibuk
mempersiapkan ujian, setelah selesai aku masih harus menyiapkan
akomodasi orangtua dan kakakku yang akan datang, hingga tak
memperhatikan lagi inbox message yang masuk. Semua berlangsung
sesuai rencana, aku juga berhasil memperoleh sebuah pekerjaan di sebuah
daerah pertambangan di Nusa Tenggara Barat, jauh dari Jakarta. Papa dan
Mama pun sudah mengizinkan kecuali Ray.
Pulanglah dulu, Zoe. Kim sakit, katanya dengan wajah murung.
Sesuatu di hatiku terasa teriris. Sambil menahan nafas aku bertanya, sakit apa?
Ray menatapku lama sekali. Sebelum menunduk menyembunyikan wajah.
Pulang saja, Kim takkan bisa mengganggumu lagi. Setidaknya tengoklah dia
sebagai seorang teman yang baik, bisik Ray, pelan sekali.
Seribu tanya beredar dalam pikiranku, bayangan terburuk muncul dan
aku berusaha menghilangkan ketakutanku. Entah mengapa, kebencianku pada
gadis itu lenyap tak bersisa. Tak tahu kapan ketidaksukaanku padanya
berubah menjadi kekuatiran. Aku pulang bersama Mama, Papa dan Kak Ray
seusai acara inagurasi selesai.
Gadis itu sudah berubah, tak seperti foto-fotonya yang selalu
menampilkan tawa atau senyum lebar, aku melihatnya duduk seorang diri di
kursi ayunan yang dulu pernah dibuatkan oleh Ray dan aku. Ia
berayun-ayun sambil mengelus-elus seekor kucing. Tampak tenang dan
sangat berbeda dari bayanganku selama ini. Gadis yang ceria, cerewet,
dan tak bisa diam.
Ia mengangkat kepala, menatapku. Namun kembali menunduk dan terus
mengusap kepala kucingnya yang kutebak pasti Zokim. Sesaat tangannya
berhenti bergerak, lalu kembali menatapku. Aku masih diam tak bergerak
di pintu masuk, bersiap diri kalau ia menghambur dalam pelukanku seperti
dulu setiap kali aku masuk ke halaman rumahnya. Kali ini aku berjanji
takkan bergeser sedikitpun darinya. Aku terpaksa mengaku, hampir lima
tahun tak bertemu ternyata membuatku bisa merasa rindu luar biasa
padanya. Meski aku tahu Ray ternyata berbohong, gadis itu kelihatan
sehat dan bugar. Tak kurang suatu apapun.
Aku tak lagi peduli kalau mataku memancarkan rindu, aku tak peduli
lagi berapa lama kali ini Kim akan membelengguku dengan pelukannya yang
erat, aku juga tak peduli lagi kalau akhirnya tak bisa menahan mulutku
untuk berkata aku rindu. Aku hanya berharap, ia segera mendatangiku,
menjerit senang atau melompat gembira seperti dulu.
Gadis itu diam lama sekali. Aku mulai tak sabar. Dan akhirnya ia
berdiri, berjalan mendekatiku setelah membebaskan si kucing ke tanah.
Tatapannya berbeda, terlalu berbeda dari saat aku meninggalkannya dulu.
Tak ada tatapan penuh cinta, penuh harap dan memohon seperti dulu.
Tatapan Kim kini kosong, seperti mata boneka. Berkilauan, tapi tak ada
ekspresi di dalamnya.
Kakak Kakak ini gumamnya setengah berbisik. Kening Kim
berkerut-kerut, lalu tiba-tiba ia menjerit keras sekali sambil memegang
kepalanya. Kesakitan.
Suara jeritan Kim membuatku kaget dan ternyata juga seperti alarm
yang memanggil semua penghuni rumah. Tak hanya rumahnya, tapi juga
rumahku. Daddy dan Mommy Kim berlarian keluar dari dalam rumah,
sementara Ray, Papa dan Mama menghambur masuk dari pintu pagar. Semuanya
berlari mendekati Kim. Mereka berebutan menolong, memeluk, memapah,
membisikkan kata-kata menenangkan sambil membawanya masuk ke dalam
rumah, meninggalkan aku yang terpana kebingungan. Sesuatu yang salah
sedang terjadi pada Kim. Gadis itu bukan Kimberley yang kukenal.
***
Sulit bagiku menerima kenyataan.
Kimberley-ku sudah tiada. Kecelakaan yang dialaminya membuat gadis itu
melupakan banyak hal, kehilangan seluruh kemampuan yang selama ini
dimilikinya. Kim kembali menjadi seorang anak-anak, tak bisa membaca,
tak mengenal siapa-siapa, tak tahu apapun bahkan membedakan kiri dan
kanan, atas atau bawahpun dia tak bisa. Otaknya yang cerdas kini lenyap
tak bersisa. Ia berubah menjadi sosok dengan kemampuan berpikir bagai
anak balita yang terbungkus tubuh dewasa. Kecuali satu, dia masih selalu
senang berada di sisiku.
Email-email Kim dulu masih ada. Seringkali jika rasa tak percaya
timbul, kubuka kembali dan kukenang satu persatu setiap ceritanya dengan
bertanya. Namun, Kim hanya menatapku dengan tatapan bingung. Mengiraku
sedang berbicara sendiri.
Selembar kertas kutemukan tanpa sengaja ketika membereskan kamar Kim.
Isinya berhasil meyakinkan diriku sendiri. Apa yang harus kulakukan?
Apa yang kuinginkan sekarang?
Satu keputusan besar sekali lagi kuambil. Aku ingin menikahi Kim.
Bukan rasa bersalah seperti dugaan seluruh keluarga kami berdua, tapi
karena aku menyadari satu hal pada akhirnya. Aku jatuh cinta pada Kim.
Sama seperti Kim, yang dulu pernah berkata tak pernah tahu apa itu cinta
atau bukan, aku juga perlu waktu untuk menyadarinya. Hanya sayang, aku
sadar setelah semuanya terjadi.
Dulu sekali, tanpa kusadari seorang gadis datang padaku. Mengambil
bagian dari hatiku, mengukir namanya walaupun sangat kecil di salah satu
sudut. Ia mencintaiku, sangat mencintaku sampai aku takut padanya.
Entah apa sebabnya. Namun waktu membuatku mengerti. Karena saat bertemu
dengannya, aku seperti melihat diriku. Menangis dan tertawa untuk
seseorang. Menyakiti dan tersakiti dalam satu waktu. Aku berusaha
mengusirnya karena aku takut rasa itu akan menguasai seluruh hidupku.
Dan ketika semakin terjebak dalam pusaran kasih sayang itu, aku bahkan
tak sanggup membayangkan hidup tanpa dirinya.
Kimberley-ku dulu memang tiada, tapi senyum dan tawa itu masih sama.
Entah ia paham atau tidak, ia masih selalu menikmati setiap kebersamaan
kami. Dan aku merasa cukup hanya melihat senyum serta tawa yang dulu
selalu ia berian padaku. Kim menemaniku dalam kesendirianku, ketika aku
bahkan tak pernah ada untukku saat ia sendiri menangis dalam rindu.
Kini, aku ingin menemani Kim sepanjang hidupku, meski Kim tak mengenal
diriku.
Kakak, jangan tinggalkan aku! satu-satunya kalimat yang setiap malam
ia ucapkan sebelum tidur. Kalimat pertama yang ia ucapkan setelah kami
menikah selama enam bulan, padahal aku selalu mengajarinya untuk
mengucapkan I Love You seperti dulu. Mungkin dibandingkan
meraih cintaku, Kim lebih takut aku pergi jauh darinya. Sekarang
perasaan itu selalu berada di dalam hatiku. Takut Kim tertidur tanpa
pernah bangun lagi, kuatir ia semakin lupa padaku dan mengusirku suatu
hari nanti.
Setiap detik bersama Kim, mencintai, mengasihi sampai ia mengingatku
lagi. Harapan mungkin tinggal harapan, karena sudah banyak dokter yang
kami datangi semuanya angkat tangan. Tapi aku tak pernah menyerah,
setidaknya aku hanya mengharap mata Kim tetap menatapku dengan cinta
seperti sekarang, sama seperti dulu ketika ia masih memujaku bagai tokoh
idola.
Seperti hari ini, seusai terapi yang harus ia lakukan. Menatapnya
dari kejauhan, membiarkannya sementara bergembira bersama orang-orang
yang sama seperti dirinya. Tak mengingat apapun, selain hanya harus
tertawa menikmati dunia hari ini. Aku tak pernah memikirkan pandangan
kasihan dari orang-orang, ataupun kata-kata sindiran menyakitkan saat
mereka melihat Kim. Karena aku tahu, Kim tak pernah peduli. Dulu ia tak
pernah peduli meski semua orang mengejek cintanya padaku, aku juga tak
mau membiarkan ejekan orang menghentikan kesempatanku mencintai Kim.
Kim, nama yang kuukir sangat kecil di sudut hatiku, ternyata tertulis
dalam dan indah. Nama yang selamanya akan tetap terpatri sampai maut
memisahkan kami berdua.
Jauh dalam hatiku, terkenang barisan kalimat dalam lembaran kertas yang kutemukan hari itu.
Setiap hari ada dia
Di ingatanku, di hatiku, di setiap denyut jantungku
Aku cinta dia selamanya, meski ia melupakanku, meski ia menjauhiku
Aku akan berlari mendekat, aku akan terus menggapainya
Cinta bukan untuk menjauh, cinta untuk direngkuh.
I Love You, Kak Zoe
I love you too, Kimberley, bisikku, saat ia mendekat setelah
aku melambai padanya. Ia tersenyum, lagi. Aku meraih tangan Kim,
menarik tubuhnya dalam rangkulan, memastikan ia aman bersamaku.
Kemudian, kami berjalan keluar meninggalkan rumah sakit. Hari ini, esok
dan nanti, ia bersamaku dalam rengkuhan cinta.
*****
Taurus In Motivation