"Maya tidak sadar ya?"
Tiba-tiba saja suaranya memelan. Seorang laki-laki paruh baya yang sehari-hari bekerja sebagai kepala dinas di salah satu bidang pemerintahan itu menatapku lurus. Rasa kikuk merayap begitu cepat melalui tengkukku. Beliau melanjutkan kalimatnya, "Waktu pertama kali kenal, Bapak kira Maya itu remaja berusia 19 tahun yang baru menginjakkan kaki di dunia kampus. Soalnya Maya itu imut, cantik dengan pesonanya sendiri."
Uhuk! Aku tersedak. Wajahku, oh-hh aku tidak tahu semerah apa ronanya sekarang. Ya Allah, padahal kalau diri sendiri yang narsis, aku baik-baik saja tuh. Kenapa rasanya begitu memalukan ketika mendengarnya dari mulut orang lain ya?
Tiba-tiba saja seorang dosen dari universitas lain pun ikut menimpali, "Apalagi Maya ini punya website pribadi. Tulisannya bagus loh, mengalir sesuai hati pemiliknya. Sayangnya, akan sangat sulit menemukan sosok yang pas mendampingi Maya kelak. Tahu tidak, Maya itu ibarat putri dalam kotak kaca. Terlihat begitu memukau sampai orang lain takut mendekat karena tak terjangkau."
Putri dalam kotak kaca? Yang benar saja, itu berlebihan. Aku sudah sering ditegur karena sikapku yang selalu membuat orang lain penasaran. Kesannya tebar pesona, sok misterius atau apalah namanya. Ini aneh. Sejujurnya, aku malah tidak menyembunyikan apapun. Namun dengan mudahnya orang-orang menyematkan kata sempurna padaku. Sebenarnya apa yang salah pada diriku? Huh, jika aku putri dalam kotak kaca, aku butuh pangeran dengan palu besi.
Speechless. Aku benar-benar tidak tahu bagaimana menanggapi forum kecil yang mendadak terbentuk dengan bahasan tentang diriku. Belum sempat aku menjawab, wakil rektor universitasku muncul. Aku tersenyum manis berharap beliau tidak mendengar pembicaraan barusan.
Beliau bertutur, "Kalau begitu ini kesempatan buat Maya, mumpung masih muda dan belum berkeluarga. Nanti lanjut daftar beasiswa unggulan luar negeri dari universitas ya. Jadi bisa kembali ke Jepang secepatnya untuk sekolah lagi Insya Allah. Nah, pulang ke Indonesia untuk wisuda saja. Bagaimana?"
Aku menaikkan alis, tersenyum kikuk. Melihatku yang tidak merespon, seorang dosen senior di universitasku berkata, "Kenapa ragu? Maya punya pacar?" Aku menggeleng perlahan. "Ada seseorang yang menunggu kepulangan ke tanah air?" Lagi, aku menggeleng. "Dijodohkan dengan calon dari keluarga?" Untuk ketiga kali, aku menggeleng. "Lalu apa yang Maya tunggu? Kesempatan tidak datang dua kali."
Spontan, aku melepas tawa lalu mengangguk penuh terima kasih. Aku berkata lembut, "Insya Allah, akan dipikirkan dan direncanakan dengan matang terlebih dahulu."
Syukurlah detik berikutnya, forum kecil itu pun bubar. Pasalnya, hidangan santap malam telah siap. Satu per satu dari kami pun mengambil tempat untuk bisa makan dengan lahap.
Sungguh hidangan kala itu begitu mewah. Namun tenggorokanku tak jua bisa menikmatinya. Pikiranku semrawut. Bukan karena aku tidak sadar aku imut. Atau karena blog Kemilau Cahaya Emas dibaca dosenku. Apalagi karena tawaran beasiswa untuk lanjut kuliah mengambil gelar Ph.D di Jepang. Aku hanya sedang kacau. Hanya itu.
Aku teringat hampir dua tahun lalu, ketika aku mempersiapkan kelulusan dari bangku kuliah. Tekad yang bulat untuk membangun istana cahaya tak berjalan seiring dengan takdir. Mau bagaimana lagi, faktanya sang putri telah memiliki rumah tetapi sayang tak ada pangeran yang membawa tangga. Alhasil rumah tangga tak kunjung tercipta. Akhirnya keputusan untuk melanjutkan sekolah pun diambil. Dan di sinilah aku sekarang, di bumi momiji kemerahan yang berguguran.
Chiba Daigaku
Sepanjang Jalan Chiba Daigaku Bertabur Daun Maple yang Berguguran
Bersama dengan kebekuan di bawah 6 derajat celcius, aku termenung. Pertanyaan sederhana pun terlontar, apa kali ini kejadian yang sama akan terulang kembali untuk kedua kalinya? Apa aku akan kembali menempuh jalan yang kuambil dua tahun yang lalu? Ah, putri dalam kotak kaca. Itu menyesakkan, tahu.
Tiba-tiba saja suaranya memelan. Seorang laki-laki paruh baya yang sehari-hari bekerja sebagai kepala dinas di salah satu bidang pemerintahan itu menatapku lurus. Rasa kikuk merayap begitu cepat melalui tengkukku. Beliau melanjutkan kalimatnya, "Waktu pertama kali kenal, Bapak kira Maya itu remaja berusia 19 tahun yang baru menginjakkan kaki di dunia kampus. Soalnya Maya itu imut, cantik dengan pesonanya sendiri."
Uhuk! Aku tersedak. Wajahku, oh-hh aku tidak tahu semerah apa ronanya sekarang. Ya Allah, padahal kalau diri sendiri yang narsis, aku baik-baik saja tuh. Kenapa rasanya begitu memalukan ketika mendengarnya dari mulut orang lain ya?
Tiba-tiba saja seorang dosen dari universitas lain pun ikut menimpali, "Apalagi Maya ini punya website pribadi. Tulisannya bagus loh, mengalir sesuai hati pemiliknya. Sayangnya, akan sangat sulit menemukan sosok yang pas mendampingi Maya kelak. Tahu tidak, Maya itu ibarat putri dalam kotak kaca. Terlihat begitu memukau sampai orang lain takut mendekat karena tak terjangkau."
Putri dalam kotak kaca? Yang benar saja, itu berlebihan. Aku sudah sering ditegur karena sikapku yang selalu membuat orang lain penasaran. Kesannya tebar pesona, sok misterius atau apalah namanya. Ini aneh. Sejujurnya, aku malah tidak menyembunyikan apapun. Namun dengan mudahnya orang-orang menyematkan kata sempurna padaku. Sebenarnya apa yang salah pada diriku? Huh, jika aku putri dalam kotak kaca, aku butuh pangeran dengan palu besi.
Speechless. Aku benar-benar tidak tahu bagaimana menanggapi forum kecil yang mendadak terbentuk dengan bahasan tentang diriku. Belum sempat aku menjawab, wakil rektor universitasku muncul. Aku tersenyum manis berharap beliau tidak mendengar pembicaraan barusan.
Beliau bertutur, "Kalau begitu ini kesempatan buat Maya, mumpung masih muda dan belum berkeluarga. Nanti lanjut daftar beasiswa unggulan luar negeri dari universitas ya. Jadi bisa kembali ke Jepang secepatnya untuk sekolah lagi Insya Allah. Nah, pulang ke Indonesia untuk wisuda saja. Bagaimana?"
Aku menaikkan alis, tersenyum kikuk. Melihatku yang tidak merespon, seorang dosen senior di universitasku berkata, "Kenapa ragu? Maya punya pacar?" Aku menggeleng perlahan. "Ada seseorang yang menunggu kepulangan ke tanah air?" Lagi, aku menggeleng. "Dijodohkan dengan calon dari keluarga?" Untuk ketiga kali, aku menggeleng. "Lalu apa yang Maya tunggu? Kesempatan tidak datang dua kali."
Spontan, aku melepas tawa lalu mengangguk penuh terima kasih. Aku berkata lembut, "Insya Allah, akan dipikirkan dan direncanakan dengan matang terlebih dahulu."
Syukurlah detik berikutnya, forum kecil itu pun bubar. Pasalnya, hidangan santap malam telah siap. Satu per satu dari kami pun mengambil tempat untuk bisa makan dengan lahap.
Sungguh hidangan kala itu begitu mewah. Namun tenggorokanku tak jua bisa menikmatinya. Pikiranku semrawut. Bukan karena aku tidak sadar aku imut. Atau karena blog Kemilau Cahaya Emas dibaca dosenku. Apalagi karena tawaran beasiswa untuk lanjut kuliah mengambil gelar Ph.D di Jepang. Aku hanya sedang kacau. Hanya itu.
Aku teringat hampir dua tahun lalu, ketika aku mempersiapkan kelulusan dari bangku kuliah. Tekad yang bulat untuk membangun istana cahaya tak berjalan seiring dengan takdir. Mau bagaimana lagi, faktanya sang putri telah memiliki rumah tetapi sayang tak ada pangeran yang membawa tangga. Alhasil rumah tangga tak kunjung tercipta. Akhirnya keputusan untuk melanjutkan sekolah pun diambil. Dan di sinilah aku sekarang, di bumi momiji kemerahan yang berguguran.
Chiba Daigaku
Sepanjang Jalan Chiba Daigaku Bertabur Daun Maple yang Berguguran
Bersama dengan kebekuan di bawah 6 derajat celcius, aku termenung. Pertanyaan sederhana pun terlontar, apa kali ini kejadian yang sama akan terulang kembali untuk kedua kalinya? Apa aku akan kembali menempuh jalan yang kuambil dua tahun yang lalu? Ah, putri dalam kotak kaca. Itu menyesakkan, tahu.
Taurus In Motivation
0 komentar:
Posting Komentar