NYONYA FALLACIA
Cerpen Agus Noor
Rumah itu seperti kutil di wajah cantik. Menyebalkan, dan ingin
secepat mungkin membuangnya. “Bila rumah itu di singkirkan, maka gerbang
perumahan kita akan terlihat bersih,” Nyonya Li, dengan suaranya yang
cempreng, mengatakan itu saat kami berkumpul. Sudah lama memang kami
sebal dengan rumah itu. Letaknya persis di sisi gerbang masuk perumahan.
Bayangkan, bila gerbang itu sebuah hidung yang mancung dan indah, rumah
itu seperti kutil yang nangkring tepat di ujungnya.
Sebenarnya, bila saja rumah itu terawat, tentu tidak terlalu membuat
kami jengkel. Tapi rumah itu selalu tampak misterius. Banyak yang
percaya rumah itu angker. Ilalang tumbuh liar, temboknya kusam penuh
lumut dan kelekap. Tumpukan daun kering yang berserakan di halamannya
tak pernah tersapu. Sering orang-orang melihat ular merayap keluar dari
sana. Kami membayangkan puluhan kalajengking dan kelabang hidup di bawah
batu dan akar pepohonan yang tumbuh rimbun menjulang di halaman rumah
itu. Ada pohon sawo kecik tepat di tengah-tengah, terlihat seperti
payung gelap dan tua bila malam hari, dan banyak yang percaya pohon sawo
kecil itu menjadi tempat tinggal jin dan genderuwo. Bila kami pulang
malam hari, mau tak mau kami harus melewati rumah itu, yang selalu
tampak gelap. Rumah itu terlihat seperti rumah yang dihuni puluhan
hantu. Dan kami selalu merinding melewatinya.
Yang paling bikin kami cemas adalah pohon mangga dan jambu, yang bila
musim berbuah, menggoda anak-anak kami untuk mencurinya. Pernah, anak
Nyonya Boriska, menyelundup masuk rumah itu, hendak mencuri mangga yang
sedang berbuah lebat, dan tiba-tiba menjerit-jerit. Karna panik ia turun
dengan gugup dan terjatuh hingga kakinya patah, dan lumpuh hingga kini.
Kalau saja saat itu tak keburu datang polisi, beberapa orang sudah akan
membakar rumah itu.
Pemilik rumah itu lebih misterius. Kami memanggilnya Nyonya Fallacia.
Tak ada yang yakin itu namanya yang sesungguhnya. Ia jarang keluar
rumah. Malah boleh dibilang: nyaris tak pernah keluar rumah. Ia hanya
sesekali terlihat keluar mengenakan pakaian serba hitam. Bergaun hitam,
dengan lilitan kerudung hitam yang menyembunyikan wajahnya. Ia keluar
hanya untuk membeli daging untuk puluhan kucing yang dipeliharanya. Ia
akan berjalan pelan, menundukkan wajahnya, membawa keranjang rotan,
menuju warung yang letaknya di ujung jalan dekat pengkolan pasar. Ia
biasanya membeli beberapa kilo daging, ikan asin juga bumbu dapur
keperluan memasak. Pemilik warung itu sudah hafal dengan apa yang selalu
dibelinya. Hingga ia melayani tanpa banyak suara.
Ada yang mengatakan Nyonya Fallacia pernah menikah lima kali, dan
semua suaminya mati secara misterius. Suami pertamanya seorang tentara,
kabarnya mati ketika dikirim ke Timor Timur. Suaminya yang kedua
kabarnya seorang pejabat yang tinggal di luar kota. Ada yang mengatakan,
suami keduanya ini sesungguhnya kawin lagi. Sampai kemudian dikabarkan
mati dengan tubuh membusuk di sebuah hotel. Suaminya yang ketiga
kabarnya lebih muda. Tapi tak pernah jelas pekerjaannya. Ada yang bilang
ia seorang pencoleng. Agak lucu kisah pertemuan Nyonya Fallacia dengan
suami ketiganya ini. Kabarnya suatu malam rumah Nyonya Fallacia
disantroni perampok. Dan salah satu perampok itu terpesona ketika
melihat Nyonya Fallacia tertidur. Ia tak jadi menggoroknya, tapi malah
menyetubuhinya. Ketika kawan-kawannya pergi membawa perhiasan milik
Nyonya Falacia, perampok itu malah memilih tinggal di rumah Nyonya
Fallacia. Dan selama setahun hidup bersama, sampai kemudian tak jelas
kabarnya. Ada yang mengatakan lelaki itu kabur karna tak lagi tahan
dengan Nyonya Fallacia. Ada yang mengatakan ia kembali jadi perampok dan
mati tertembak. Ada juga yang mengatakan lelaki itu mati karna sakit
yang aneh, dan mayatnya dikubur di pekarangan belakang rumah itu.
Cerita tentang suami keempat dan kelimanya lebih tak jelas lagi. Yang
keempat seorang dukun, kata Nyonya Brigta. Tapi ini dibantah Nyonya
Wislah. “Setahu saya, suaminya yang keempat itu tukang jagal. Bekerja di
pemotongan hewan. Setiap hari ia menyembelih sapi di tempat penjagalan
itu. Namanya Abilawa,” kata Nyonya Wislah. Tapi kami tak terlalu yakin
juga, mengingat Nyonya Wislah kami tahu suka mengarang dan berdusta.
Dari para penduduk di luar perumahan, kami bahkan mendengar suami ke
empat dan kelima Nyonya Falacia itu kembar. Jadi Nonya Falacia menikah
dengan orang kembar. Ia menikahi suami keempat dan kelimanya bersamaan.
Mana yang benar? Kami benar-benar tak tahu.
Nyonya Fallacia yang misterius membuat kami hanya bisa menduga-duga.
Itu malah membuat kami semakin ketakutan dengan sosoknya. Bila melihat
Nonya Fallacia keluar rumahnya, kami akan memandanginya dari jauh. Kami
takut, tapi juga penasaran. Kelakuan kami jadi seperti anak-anak kecil
yang suka mengintip. Pingin tahu apa yang dilakukannya. Kadang ia memang
terlihat berdiri lama di pekarangan rumahnya. Memandang ke arah
pohon-pohon, dan tangannya tampak menunjuk-nunjuk. Pernah juga kami
melihat ia menaburkan entah apa di sekitar pintu. Seperti menaburkan
garam, yang dipercaya akan membuat ular tak bisa masuk ke dalam rumah.
Bila di antara kami tak sengaja berpapasan di jalan, maka kami akan
buru-buru menghindar. “Jangan sampai kamu menatap matanya, nanti kamu
jadi ikutan terkutuk,” begitu yang dipercaya Nyonya Hasmita. Ia kerap
menasehati anak perempuannya seperti itu. “Bila kamu menatap matanya,
kamu juga akan sengsara. Kamu bisa-bisa tak akan dapat jodoh. Kalau pun
kamu kawin, nanti suamimu mati muda. Atau perkawinanmu selalu celaka.”
Mungkin Nyonya Hasmita keterlaluan soal itu. Tapi kami juga tak
membantahnya. Seorang perempuan, sekali menjanda saja sudah pasti jadi
gunjingan. Apalagi bila janda lima kali. Perempuan seperti itu sudah
pasti perempan yang hidupnya dipenuhi kutukan.
Apalagi kami juga mendengar kalau Nyonya Fallacia pun menguasai ilmu
tenung. Ia bisa berubah menjadi anjing. Seorang peronda pernah
bercerita, berkali-kali ia melihat ada binatang yang aneh. Dari rumah
yang gelap itu, tengah malam saat berkeliling, peronda itu melihat
sesosok binatang mirip anjing, tetapi bertubuh sangat besar seperti
harimau. Mata binatang itu kuning kehijauan, seolah menyala. Ia sampai
terkencing-kencing ketika binatang itu memandangnya dengan suara
mengeram. Ada lagi yang pernah bercerita kalau melihat seekor ular
dengan tubuh sebesar manusia keluar dari jendela rumah Nyonya Fallacia.
Itu ular jejadian. Ular pesugihan. Dan Nyonya Fallacia hidup dengan
pesugihan itu.
Oh ya, yang juga membuat kami kerap jengkel dan sebal pada Nyonya
Fallacia adalah kucing-kucingnya. Ia memelihara banyak sekali kucing.
Mungkin lebih dari 50 ekor. Kalau ia selalu membeli daging dan ikan
asin, itu untuk makan kucing-kucingnya. Tapi namanya saja kucing, tentu
saja selalu bikin masalah. Anda tahu sendiri, kalau kucing itu birahi
dan kawin. Selalu ribut dan bising. Suaranya yang terus mengeong tengah
malam selalu membuat kami blingsatan. Kucing itu berlarian berkejaran di
atap rumah, membuah gaduh dan berisik. Kami sering menyiramnya dengan
air panas untuk mengusirnya. Sering kucing-kucing itu masuk rumah
mencuri ikan asin atau lauk lainnya. Anak-anak kami yang jengkel dengan
kucing-kucing itu sering memburu kucing-kucing itu, menyambitnya dengan
batu atau potongan kayu. Tak jarang anak-anak kami mengendap-endap
mengincar kucing-kucing itu, dan pada saat yang tepat menghantamkan
lonjoran besi ketubuh binatang itu. Tentu saja kami kerap melarang,
karna bagaimana pun tak baik meyakiti binatang. Tapi itu malah membuat
kami kadang bertengkar sendiri.
“Jangan salahkan anak-anak!”
“Tapi kita tak bisa membiarkan anak-anak kita bersikap kejam pada binatang.”
“Namanya juga anak-anak. Kalau mau menyalahkan, salahkan kucing-kucing itu.”
“Lho, kucing kok disalahkan.”
“Habis siapa dong yang harus disalahkan?”
“Ya yang punya kucing itu…”
Dan kami makin tak suka dengan Nyonya Fallacia.
***
Kucing-kucing itulah yang suatu kali membuat saya berurusan dengan
Nyonya Fallacia. Entah bagaimana kejadiannya, anak saya yang berumur 12
tahun mengejar kucing itu sampai ke halaman rumah Nyonya Falacia. Ia
diikuti kawan-kawan lainnya. Saat itulah mendadak Nyonya Fallacia
muncul. Sebagian anak langsung takut, dan lari pulang. Tapi anak saya
terus mengejar kucing itu sambil melemparkan sebongkah batu ke arah
kucing yang berlari masuk ke dalam rumah. Batu yang dilempar anak saya
tak mengenai kucing itu, tapi tepat menghantam kepala Nyonya Fallacia.
Kejadian itu membuat geger. Beberapa orang bilang Nyonya Fallacia
sempat meraung kesakitan, suaranya terdengar seperti anjing yang
melolong terkena hantaman batu. Tubuhnya terhuyung, sembari tangannya
memegangi kepalanya yang mengucurkan darah. Anak saya segera lari
pontang-panting.
Saya yang mendengar kabar itu bergegas mencari anak saya. Ia saya
temukan gemetar ngumpet di gudang. Saya mencoba memeluknya.
Menenangkannya. Ia menangis sesungukkan. Saya mendengar kabar Nyonya
Fallacia pergi ke sebuah klinik dan dirawat. Kepalanya retak. Saya
bermaksud menjenguknya. Bagaimana pun saya merasa bersalah. Sebagai
orang tua, saya ingin meminta maaf atas tindakan anak saya yang
membuatnya celaka. Tetapi beberapa tetangga melarang saya. “Tak usah,”
kata Nyonya Li. Dan yang lain mendukung. Saya dianggap hanya akan
mencari kerepotan dan menambah masalah bila menjenguk Nyonya Fallacia.
Malamnya, saya menceritakan kejadian itu pada suami saya. Dan ia
hanya diam saja. Entah kenapa, saya tak bisa menghilangkan perasaan
bersalah saya. Ada sesuatu yang mengganggu saya. Yang terus membuat saya
gelisah. Mungkin karna itulah, saya mimpi buruk.
Saya melihat Nyonya Falacia berjalan melayang. Di bawahnya seperti
ada sungai yang penuh mayat kucing. Terdengar angin menggemuruh, dan
meniup dedaunan yang rontok dari sebatang pohon besar. Saya melihat kain
hitam yang dikenakan Nyonya Fallacia berkibaran. Kerudung yang
menutupi kepalanya seperti tangan yang terjuntai, dengan ujungnya yang
mirip cakar yang akan mencabik-cabik tubuh saya. Ada kabut dan bau aneh
yang melintas. Saya sekilas melihat wajah Nyonya Fallacia yang pucat.
Seperti wajah orang sekarat. Kelopak matanya cekung dan menghitam.
Rahangnya tirus. Ia tersenyum aneh dan membuat saya merinding dan
menjerit…
Saya tergeragap bangun. Suami saya mencoba menenangkan saya, mendekap
saya erat-erat. Saya menceritakan mimpi itu. Kemudian saya mengatakan
kalau saya ingin minta maaf pada Nyonya Fallacia. “Bagaimana pun kita
harus menemui Nyonya Fallacia,” kata saya. “Mimpi buruk ini hanyalah
awal ketakutan saya yang bisa jadi akan terus-menerus menghantui saya,
kalau saya tidak menunjukkan perasaan bersalah saya atas kejadian yang
menimpanya.”
Semula suami saya tak mau membahas itu. Berharap saya melupakan. Tapi
mimpi itu selalu datang lagi. Malam-malam saya jadi dipenuhi mimpi
buruk dan kecemasan.
Akhirnya suami saya mau juga mengantantar saya menemui Nyonya Fallacia.
***
Saya tak melihatnya terkejut ketika Nyonya Fallacia membuka pintu.
Cukup lama saya dan suami saya mengetuk pintu. Kami sempat ingin balik,
ketika pintu tak kunjung dibuka. Dan saya sendiri mulai ragu dan cemas.
Tapi pada saat itulah pintu berderit, dan sosok Nyonya Fallacia muncul
dari pintu yang perlahan terbuka. Tubuhnya lebih kurus. Kulit tangannya
saya lihat sepucat mayat. Saya sempat bertatapan dengan matanya. Ada
kelembutan yang membuat saya berdebar.
Ia seperti sudah menduga kedatangan saya. Ia hanya mengangguk, dan
bicara begitu pelan. Saya tak mendengar jelas apa yang dikatakan, tapi
dari gerak tubunya saya tahu kalau ia menyuruh kami masuk.
Suasana seram menyergap kami. Ruangan yang kami masuki begitu remang.
Nyaris tanpa cahaya lampu. Hanya ada cahaya matahari yang samar masuk
dari sebuah jendela dan dari atap yang terlihat menganga. Bau debu
membuat udara ruangan terasa tebal di hidung. Ada kursi tua, sebuah meja
dari kayu, foto-foto muram dan suram. Semua seperti sebuah masa silam
yang disembunyikan dalam kegelapan yang tak pernah ingin disingkap. Dan
yang paling menggetarkan adalah kucing-kucing itu. Di ruangan itu penuh
dengan kucing berkeliaran. Beberapa ekor kucing terlihat langsung
menggesek-gesekkan tubuhnya di kaki Nyonya Fallacia. Ada yang menjilati
kakinya yang memakai selop. Ada juga yang berguling-guling di dekatnya.
Seekor kucing melompat dan dengan cekatan Nyonya Fallacia menangkapnya.
Kucing itu meringkuk manja dalam pelukan Nyonya Fallacia.
Lalu saya menyadari, banyak juga kucing yang hanya diam. Seperti arca
bisu menatap saya. Saya tanpa sadar menggenggam bahu suami saya
kuat-kuat. Suami saya seperti menyadari ketakutan saya, lalu merapatkan
tubuhnya. Saat itulah saya menyadari: kalau kucing-kucing yang sejak
tadi diam itu ternyata kucing yang sudah mati.
Nyonya Fallacia seperti menyadari kegugupan saya.
“Ya, kucing-kucing itu memang sudah mati,” suaranya terdengar seperti
muncul dari sebuah arah yang gaib. “Saya tak pernah mengubur
kucing-kucing saya yang mati. Saya selalu mengawetkannya. Bagi saya,
kucing-kucing itu adalah cinta saya. Bagaimana saya bisa mengubur cinta
saya?”
Saya hanya diam. Dan makin merapatkan tubuh ke pelukan suami saya.
Bahkan saya dan suami saya hanya terus berdiri ketika Nyonya Falacia
mempersilakan kami duduk.
“Suami saya menyukai kucing. Saya yakin, kalian pasti banyak
mendengar tentang suami saya. Atau seperti yang sering diceritakan
orang: suami-suami saya.” Ia tertawa, terdengar getir. “Mereka pasti
bilang saya kawin berkali-kali. Apakah kalian akan mempercayai saya,
kalau semua gosip itu tidak benar? Saya hanya mencintai seorang
laki-laki. Dan itu suami saya. Suami saya suka sekali kucing. Bagi saya,
kucing-kucing ini seperti menghubungkan cinta saya dengan suami saya
yang sudah mati…”
Waktu seperti merambat pelan. Suara jarum jam di dinding terdengar
begitu jelas dalam keheningan yang panjang. Kami hanya diam sepanjang
pertemuan yang singkat tapi terasa bagai berabad-abad. Ketika kami
akhirnya pamit, ada yang terasa lega. Saya tak tahu, kenapa saya bisa
merasa lega.
Tapi setidaknya, kini saya punya pandangan berbeda tentang Nyonya Falacia.