Sepak
bola merupakan produk kebudayaan manusia yang paling konyol!
Barangkali, itulah sebabnya Butet “Sarimin” Kartaredjasa tidak
menyukainya. “Saya ndak pernah bisa memahami, bagaimana mungkin
ada 22 orang mau berlarian kesana-kesana kemari saling jegal rebutan
bola? Itu kan absurd. Beri saja masing-masing satu bola, pasti ndak
lagi rebutan. Lagi pula, dari pada rebutan bola, kan mendingan seperti
para politikus kita yang dengan gigih rebutan kursi kekuasaan…” Tentu
saja, itu kelakar khas si Raja Monolog itu.
Tapi
kelakar itu membuat saya jadi memahami: betapa memang ada perspektif
komedis dari bola. Disamping bulat dan bundar, bola ternyata penuh
banyolan juga. Ketika sepak bola dari waktu ke waktu makin industrialis
dan dikembangkan pada pada tingkat yang makin menghibur dan sempurna
melalui pola permainan eksplosif semacam total football atau
ekspresif sebagaimana para pemain Brasil menarikan samba-bolanya, maka
selalu saja ada kelucuan-kelucuan, yang membuatnya makin “manusiawi”.
Tapi, tentu saja, ada tingkat-tingkat kelucuan, yang membuat sesuatu
kemudian menjadi memiliki nilai, atau cuman membersitkan banyolan
konyol.
Seorang
kawan membawa kabar yang cukup mengagetkan: bahwa Nurdin Halid, Ketua
PSSI, yang kini mendekam di penjara, terpilih menjadi ketua FIFA. Dalam
sidang tahunan di Wina yang di hadiri 153 wakil dari seluruh anggota
FIFA, Nurdin Halid memenangkan pemilihan jabatan ketua FIFA secara
mutlak. 150 delegasi mendukungnya, hanya 2 wakil yang menolak, dan 1
abstain. Tentu kabar ini menggembirakan bagi persepakbolaan Indonesia.
Tetapi, usut punya usut, seorang doktor psikologi dari Denmark akhirnya
bisa menjelaskan kenapa Nurdin Halid bisa terpilih. “Ternyata para wakil
delegasi dari seluruh dunia itu mendadak terjangkiti apa yang disebut
sebagai ‘syndrome pengurus PSSI’. Sindrom inilah membuat mereka menjadi buta, tuli dan bisu. Persis seperti para pengurus PSSI saat ini…”
Kalau ini adalah perspektif kelucuan sepakbola kita, sudah pasti itu banyolan yang hanya membersitkan kegetiran.
Ada lagi satu banyolan tentang
kesebelasan PSSI kita tercinta, yang bertanding melawan tim nasional
Jerman. “Kesebalasan kita berhasil mencetak 7 gol!” kata temen saya.
Hebat. Luar biasa, saya terkagum-kagum. “Maksud saya, mencetak 7 gol ke
gawang sendiri…” lanjut kawan saya sambil nyengir. Para pemain kita,
tentu saja punya “banyak alasan” kenapa mereka tak pernah menang, apalai
bila main di kandang.
Seorang
teman saya yang lain mencoba menjelaskan soal tradisi kalah melulu itu.
“Bila bahasa menunjukkan bangsa, maka sepakbola sebenarnya
merefleksikan mentalitas bangsa. Nah, sebagai bangsa, kita adalah bangsa
yang ramah dan selalu menghormati para tamu yang datang. Lah, kalau
kesebelasan asing yang datang ke sini kita kalahkan, kan nanti kita bisa
dicap sebagai bangsa yang tidak menghormati tamunya. Nanti mereka nggak
mau lagi datang ke Indonesia. Kan bisa berabe. Bisa dianggap tidak
mendukung program Visit Indonesia dari Kementrian Pariwisata.”
Saya
mesem, dan ingat pada kesebelasan Arab, yang sulit menang bila
bertanding di tingkat Piala Dunia: karena bagi orang Arab, tidak apa-apa
kalah di dunia, asal dapat kemenangan di akhirat nanti.
Anda,
pasti, bisa menambahkan banyak lagi lelucon seputar sepak bola. Semua
itu, sesungguhnya merupakan salah satu cara bagi kita untuk makin
mencintai dan memahami sepak bola. Lelucon adalah sebuah cara pandang
yang bisa melihat suatu persoalan secara berbeda. Kemampuan untuk
melihat bahwa ada sesuatu yang telah terjadi tidak sebagaimana mestinya.
Makanya, filsuf Schopenhauer mengatakan, “orang tersenyum karena
melihat sebuah kenyataan yang tak sesuai dengan kenyataan yang
seharusnya.” Orang tertawa karena melihat paradoks. Dan kita tahu, dalam
sepak bola pun begitu banyak paradoks. Paradoks itu bisa mewujud dalam
tragedi, seperti ketika Pablo Escobar, pemain Kolombia yang menlakukan
gol bunuh diri, ditembak oleh pendukungnya sendiri. Paradoks itu bisa
pula berupa tamparan ironis sebagaimana diperlihatkan oleh para pengurus
PSSI yang begitu gigih dan dengan semangat ‘45 membela ketuanya yang
sudah dengan sah dan meyakinkan secara hukum telah divonis penjara.
Setiap
lelucon, pada akhirnya memang tidak berhenti hanya pada kekonyolan.
Karena sebagaimana diyakini Gene Perret, setiap lelucon memang
merefleksikan kebenaran. Para tiran tidak menyukai lelucon, karena
mereka memang takut pada kebenaran (yang terkandung dalam
lelucon-lelucon itu). Pada tingkat ini, melihat sepak bola dengan
perspektif humor pada akhirnya menjadi cara untuk melawan kultur yang
“tertutup”, anti dialog, dan mau menang sendiri. Benarlah apa yang
dikatakan Michail Bachtin, “budaya tertawa itu sehat dan perlu buat
kultur yang sumpek dan kaku.” Masyarakat yang tidak memiliki budaya
tertawa, ibaratnya masyarakat yang dalam istilah Latin diungkapkan
sebagai coligo in sole (melek tapi tidak melihat).
Jadi,
yang penting bukan “ketawa”-nya itu, tetapi lebih ada “budaya ketawa”.
Jadi, kalau memakai jargon Orde Baru, marilah mulai sekarang kita
meningkatkan budaya ketawa yang adil dan beradab sesuai dengan Pancasila
dan UUD ’45 (yang sekarang ini sudah diamandemen berkali-kali), bukan
UUD Ujung-Ujungnya Duit seperti dinyanykan Slank. Budaya ketawa bisa
dilihat dari kualitas dan jenis folklor atau anekdot yang berkembang
dimasyarakat, dan bagaimana kemudian masyarakat menjadikan bahan-bahan
tertawaan itu tidak hanya digunakan untuk menghibur diri, tetapi yang lebih penting ialah untuk merefleksikan diri. Itulah kualitas sense of humour yang diperlukan ketika kita begitu hiruk pikuk menikmati tontonan bola. Tanpa itu, barangkali kita nanti akan menyesali: betapa kita dari tahun ke tahun, dari event bola ke event
bola lainnya, ternyata kita hanya menjadi “penonton sepak bola abadi”,
yang hanya menempatkan bola sebagai hiburan, tetapi tidak pernah merasa
tercerahkan.
Dengan sense of humour
kita bisa “menghibur diri”: biarlah, kita (sebagai bangsa) tidak pernah
merasakan kegairahan dan kegembiraan menjadi pemain yang terlibat
langsung dalam perhelatan akbar bola, semacam Piala Dunia. Kita
sepertinya memang terus menerus “dikutuk jadi penonton” yang dengan suka
rela begadang di depan televisi. Tapi setidaknya kita bisa menjadi
penonton yang mampu memetik inspirasi dari pertandingan-pertandingan
yang kita tonton itu. Lantaran, apa boleh buat, kita memang tidak pernah
mendapatkan inspirasi yang baik dalam bentuk apapun dari kelakuan para
pemimpin kita yang kita tonton tiap hari.
Dengan sense of humour kita belajar memahami persepakbolaan kita yang makin terasa konyol. Tapi dengan sense of humour itu
pula kita tetap berusaha tidak kehilangan kewarasan dan kecerdasannya.
Dengan begitu, sepak bola bisa menjadi alternatif wacana yang memperkaya
penghayatan kita pada hidup yang tambah sumpek ini. Bola yang bundar
sering dimetaforakan sebagai nasib yang tak gampang diduga. Dan nasib,
memang, seringkali konyol. Tapi setidaknya kita bisa berharap, dengan
menonton bola, kita tidak sedang menyaksikan nasib kita sendiri yang
ditendang ke sana kemari.
0 komentar:
Posting Komentar