Sudah lebih dari 3 tahun aku berada di Bumi Parahyangan ini. Menjadi mahasiswa tingkat akhir di Teknik Lingkungan ITB. Ah, ntahlah mengapa aku memilih jurusan ini padahal sebelumnya aku sama sekali tidak tahu bagaimana masa depan Sarjana Teknik Lingkungan. Jadi teringat siapa yang menyarankanku masuk jurusan ini. Mereka adalah Bu Evy dan Pak Uki.
Baik akan kuceritakan bagaimana perjalananku bertemu mereka.
"Win, novelmu tadi dibawa Bu Evy," kata Bu Rini, guru Bahasa Indonesiaku saat aku masih kelas 1 SMA.
Seingatku, aku menyerahkan novelku untuk dibaca dan dikritisi guru Bahasa Indonesiaku. Kenapa malah berpindah tangan?
"Bu Evy siapa, Bu?" tanyaku, karena saat itu aku memang tak mengenal guru itu. Maklum, aku belum genap 1 tahun di sekolah nomor satu di kecamatan ini.
"Guru BP," jawab Bu Rini.
Hah? Apa urusannya guru BP dengan novelku? Ingin mengkritisi novelku lewat ilmu psikologinya? Atau ingin menyidak isi novelku karena ada yang tak senonoh? Atau bagaimana? Aku sungguh tak mengerti mengapa novelku itu sekarang berpindah tangan kepada guru BP. Di mana-mana guru BP itu menyeramkan. Tempat berlabuhnya anak-anak nakal. Lalu apakah ada penyimpangan dalam cerita di novelku? Ah, aku sungguh bingung. Perasaan ini campur aduk. Banyak tanya yang terbiaskan oleh ketakutan.
"Coba aja sana ke Bu Evy di ruangannya,"
Matilah aku. Pertanda apa pula ini. Novel yang kuharapkan bisa menjadi best seller malah masuk ruang BP begini.
Kemudian dengan perlahan, dengan penuh tanda tanya penasaran, dengan penuh degup jantung, aku memberanikan diri mendatangi ruang BP di dekat kantor Tata Usaha.
"Assalamualaikum," sapaku sambil mengetuk pintu ruang BP.
"Waalaikumsalam," jawab seorang wanita berpakai baju dinas. Aku tak tahu dia siapa. Mungkin itu Bu Evy yang dimaksud Bu Rini.
"Bu Evy, ya?" tanyaku blak-blakan.
"Iya," dugaanku tepat. "Dengan siapa?" tanya Bu Evy balik. Wah, rupanya belum tahu aku.
"Winda, Bu," jawabku.
"Oh, Winda. Sini masuk, Win," Bu Evy dengan wajahnya yang langsung mencair menyilahkanku masuk. Wajah ramahnya langsung menghiasi ruangan ini dengan keteduhan. Baru kali ini aku melihat guru BP seramah ini.
Setelah berbincang lumayan lama, kutepis semua dugaanku. Salah semua prasangkaku. Bu Evy bukannya ingin menyidang novelku, malah ingin membantu mewujudkan cita-citaku. Suaminya, Pak Uki ternyata adalah wartawan Kantor ANTARA, milik Indonesia yang ternyata sangat sumringah ketika mengetahui seorang siswa SMA telah menghasilkan banyak novel. Jadilah beberapa hari kemudian aku diwawancara untuk dimasukkan ke dalam hotnews di salah satu rubrik di website www.antarajatim.com dengan judul "Winda Iriani, Pelajar Yang Bingung Terbitkan 9 Novel".
Ternyata pertemuan yang awalnya menyeramkan di ruang BP itu adalah awal dari jejak langkahku ke kampus Ganesha 10.
Bu Evy dan Pak Uki sangat baik padaku. Meminjamkan komputer rumahnya untuk kupakai dalam mengetik ulang isi novel-novelku. Karena jika harus mengetik di warung-warung komputer, maka uang sewa 1 jam pun akan menghabiskan uang jajanku selama satu hari. Sangat tidak bersahabat. Allah tahu apa yang terbaik bagi hambanya hingga akhirnya datanglah kedua malaikat penolong ini.
Selain itu, mereka juga mendatangkan sastrawan yang dosen sastra jauh-jauh dari Ponorogo, Dr H Sutejo, MSi, untuk memberikan pelatihan menulis kepadaku dan tentunya untuk terus menyemangatiku menulis. Mereka benar-benar batu baraku. Mereka juga meniupkan cita-cita tinggi padaku. Menghembuskannya ke langit yang tinggi agar aku segera terbang untuk menggapainya.
"Dulu, Win, setiap saya nemani ayah ngarit rumput untuk sapi, selalu aja ada pesawat lewat. Dalam hati saya berharap ada pesawat yang jatuh sehingga saya tahu isinya di dalam. Waktu itu tidak mikir, kalau pesawat jatuh bisa membunuh banyak orang. Dan sekarang, jangan ditanya. Sudah hampir bosan saya naik pesawat. Hehe.." tutur Pak Uki. Semakin mengobarkan semangatku. Aku juga ber-azzam bahwa suatu saat nanti aku juga pasti bisa naik pesawat.
Ya, suatu saat nanti pasti aku bisa menyusul langkah mereka. Bismillah.
***
"Tittit..tittit.." HP-ku berdering. Sepertinya ada SMS.
Rupanya SMS dari Bu Evy.
Win, profilmu sudah dimuat di internet. Nanti saya kasih print outnya.
"Yeee.. Akhirnya aku masuk surat kabar juga!" sorakku dalam hati. Perasaan senang bercampur gembira ada semua di kepalaku. Saat itu aku sedang menjaga stand saat pameran kelas 2. Dengan segera aku bergegas ke warnet di depan sekolah untuk mengecek hasil liputan tentang diriku itu. Ternyata benar. Fotoku nampang besar di halaman utama. Alangkah senang tak terlukiskan perasaanku saat itu.
Padahal Kawan, saat SMA, cita-citaku untuk menjadi insinyur padam. How can? Aku tak punya biaya. Novelku belum juga diterbitkan. Diketikpun belum. Lantas apa yang kupunya? Akhirnya kuturunkan juga cita-cita. Eh, Alhamdulillah dan sesuatu banget aku bertemu dengan Bu Evy dan Pak Uki. Merekalah yang akhirnya memberiku bahan bakar untuk mengejar mimpi insinyurku. Mereka meminjamiku novel-novel Andrea Hirata. Laskar Pelangi, Sang Pemimpi, Edensor. Amboi, efeknya besar sekali, Kawan. Ntah aku akan ada di mana sekarang jika aku tak bertemu mereka dan membaca buku-buku itu. Dahsyat nian.
Dari sana akhirnya kukobarkan lagi cita-citaku. Lewat artikel yang dimuat waktu itu, ternyata ada salah satu orang yang mengomentarinya. Memberi saran agar aku ikutan beasiswa di ITB karena memang di ITB banyak sekali beasiswa. Dan tahukah kalian? Ternyata orang itu adalah dosenku saat ini. Dunia memang sempit ya. Dan jalan hidup memang tak tertebak.
Meski novel belum terbit juga, aku tetap melangkah mencari jalan agar bisa tembus ITB. Karena Allah pasti akan memberi jalan untuk umatnya yang berusaha. Bu Evy dan Pak Uki tentu selalu meniupkan ruh semangat kepadaku. Menceritakan bagaimana perjuangan mereka menggapai mimpi-mimpi mereka. Dari cerita-cerita mereka alhasil aku semakin optimis untuk berjuang masuk ke 'Kandang Gajah' (Lambang ITB adalah Gajah Ganesha sehingga aku menyebut kampus tercinta ini sebagai 'Kandang Gajah'. Hehe). Dan Alhamdulillah, akhirnya aku juga bisa merasakan bagaimana naik pesawat dan kuliah di ITB.
Oiya, dulu saat aku masih awal-awal di ITB aku sempat mengalami keterpurukan nilai. Pernah juga IP-ku 2,2. Sempat membuatku ingin resign dari kampus nomor satu di negeri ini. Tapi Alhamdulillah Bu Evy dan Pak Uki selalu menguatkanku. Bahwa langkahku bisa sampai ITB saja sudah luar biasa. Apalagi dapat IP di atas 2. Ya itulah mereka, di saat yang lain mencemooh nilaiku, tapi mereka tetap bangga padaku. Saat semester 1, memang aku pernah merasa down karena merasa tak bisa bersaing dengan mahasiswa lainnya yang notabene dari sekolah bertaraf internasional dan mereka tangguh di kampus ini. Sedangkan aku hanyalah dari SMA kecamatan di Bondowoso. Akhirnya aku curhat pada Bu Evy dan Pak Uki. Aku masih menyimpan SMS dari Pak Uki yang isinya begini :
Keluarga Winda, termasuk saya dan Bu Evy banyak berharap Winda sukses di studi. Winda memang harus menjalani masa-masa tidak nyaman. Itu juga kan yang dialami Andrea Hirata dalam Laskar Pelangi? Semua akan ada rintangannya dan itu yang akan membuat kita kuat. Untuk merasakan enak, memang harus tidak enak dulu. Tidak mood, tidak semangat, dll adalah sarana untuk melatih kita kuat dan menjadi besar. Kalau menyerah, ya kita hanya sampai di situ. Semua impian kita akan buyar. Kita menjadi pecundang yang akan dicibir banyak orang. Tidak ada jalan kecuali berusaha kuat dan fokus pada yang utama. Cobaan hanya akan diberikan pada orang yang mau naik kelas. Kalau mulus, berarti tidak ada rencana Allah untuk menaikkan orang itu. Yakinlah kamu akan naik kelas kesuksesan. Orang se-Bondowoso menunggu seorang Winda sukses. Winda tidak hanya membawa nama Winda dan keluarga. Tapi SMAN 1 Tenggarang dan Bondowoso. Jangan fokus pada yang tidak enak. Alihkan ke impian-impian besarmu sebagai anak desa yang akan membuktikan bisa sukses. Sama dengan anak-anak kota dan anak orang kaya atau pejabat yang juga bisa sukses. Saya dan Bu Evy sangat dan terlalu membanggakan Winda. Jangan lupakan ibadah khususnya sholat. Coba puasa sunnah dan tahajud. Itu menyehatkan fisik dan psikis.
Dan terimalah persembahanku sekarang Pak, Bu. Aku sudah bisa dapat IP 3,7, menjuarai lomba cerpen tingkat nasional, dan masih bertahan di Kampus Ganesha ini.
Aku tak tahu harus membalas jasa kalian seperti apa. Yang jelas kalian tetap ada di hatiku. Terima kasih pahlawan tanpa tanda jasa-ku. Terima kasih telah mengirimku ke 'Kandang Gajah' ini. Teruslah kalian menebar kebaikan di manapun kalian berada. Semoga Allah membalas jasa-jasa kalian. Amin..
Taurus In Motivation
0 komentar:
Posting Komentar