Keteduhan
memang masih ada dikampung yang jauh dari hingar bingarnya budaya
perkotaan. Polusi udara belum menyentuhnya, walaupun televisi sudah
mulai mempengaruhi gaya hidup anak anak muda.
Adalah
dua kakak beradik yang hidup dalam keluarga yang pas-pasan, bahkan
lebih banyak kekurangannya. Tidak jarang kedua kakak-beradik ini saling
mengalah. Kalau hari ini kakaknya mengalah tidak mendapat jatah, besok
adiknya yang mengalah demi kakaknya. Tidak ada iri hati dan juga tidak
ada kebencian. Kebahagian adik adalah kebahagian kakak.
Hari
itu mereka berdua bermain bersama. Tidak sengaja, kakaknya menyenggol
kacamata ayahnya yang ditaruh di atas meja, terjatuh dan...
“prak”, pecah.
Keduanya
saling pandang, bungkam dan berpelukan, tidak ada kata tuduhan dan
tidak ada kalimat saling menyalahkan. Mereka kompak, diam dan tidak
memberitahukan kepada ayahnya.
Ayahnya
masuk dan mendapatkan kacamatanya sudah pecah. Ayah yakin salah satu di
antara kedua anaknya yang menjatuhkannya. Keduanya hanya membisu saat
ditanya.
“Ayu.
Kamu yang menjatuhkan kacamata ayah?”, pertanyaan ayah kepada anak
pertama. Ayu diam menunduk, mengarahkan pandangan matanya ke lantai
dengan ketakutan.
“Rahma.
Kamu yang menjatuhkan kacamata ayah?”, giliran pertanyaan diajukan
kepada adiknya. Rahma pun diam, menunduk dan mengigit bibirnya.
“Kacamata
ini tidak mungkin jatuh sendiri tanpa ada yang menjatuhkan. Kalau tidak
ada yang mengaku, semua akan ayah hukum lebih berat”, ayahnya mengancam
supaya ada yang mengaku. Mereka berdua sadar, meskipun mengaku tetap
akan dihukum, karena sudah tahu kebiasaan ayahnya.
Mendengar ancaman ayahnya, Rahma langsung angkat bicara.
“Maafkan Rahma ayah, Rahma yang menjatuhkan”.
Rahma
mengambil alih tanggung jawab kakaknya demi cinta dan kasih sayang. Dia
tahu konsenkuensi apa yang akan diterima dari ayahnya.
“Buka
tanganny, maju ke mari...!”, perintah ayahnya yang sudah siap memegang
pecahan bambu. Dan... “Bug... bug... bug...” kayu itu mendarat bertubi
tubi di kedua telapak tangan Rahma. Mata Rahma meneteskan air mata
mulutnya merintih rintih menahan sakit.
Ayu
tidak tahan melihat ayahnya memukuli adiknya. Dia hanya bisa menahan
tangis dan lari ke kamarnya. Di dalam kamar, ia tumpahkan tangisnya. Ada
rasa bersalah yang tak mungkin dimaafkan oleh adiknya. Ada sesal yang
tak mungkin bisa dikembalikan. Mengapa harus adiknya menanggung, padahal
dirinya yang melakukan. Dia merasa telah berbuat kesalahan dan
mementingkan diri sendiri. Seharusnya, seorang kakak melindungi adiknya,
tapi kenapa justru adik yang menyelamatkna kakaknya dan terpaksa
mengambil alih tanggung jawab kakaknya.
Sejak
saat itulah, Ayu berjanji pada dirinya sendiri akan berbuat apa saja
untuk adiknya agar kelak menjadi orang yang sukses, berhasil, mengangkat
harkat dan martabat orang tuanya, dibanggakan oleh seluruh keluarganya.
Waktu terus berjalan. Kedua kakak dan adik telah lulus SMP. Keduanya berhasil mendapatkan NEM yang mambanggakan sekolahnya, 48.
Seharusnya
mereka berdua diterima di SMA yang menjadi idaman semua siswa. Ayah dan
ibunya merasa gembira, anaknya lulus SMP. Tetapi kegembiraan itu
pupussetelah menyadari betapa tingginya biaya pendidikan. Bagaimana bisa
menyekolahkan kedua anaknya, sementara perekonomian keluarga lebih
banyak kurangnya daripada pasnya. Lagi lagi kedua kakak beradik itu
diuji kebersamaan dan rasa kasih sayangnya.
Mulanya
sang adik bersihkeras mengalah demi kakaknya, agar dapat melanjutkan ke
SMA. Dia memilih tidak meneruskan sekolah, membantu orang tua
memperkuat perekonomian, agar kakaknya bisa sekolah. Tetapi kakaknya
sudah bersumpah dan berjanji, demi adiknya apapun akan dilakukan. Rahma
harus sekolah.
Kini
Rahma sudah duduk di bangku SMA. Biaya pendidikan bisa ditanggungi,
apalagi Ayu ikut berkerja menghidupkan keluarga ini. Masalahnya, sesudah
tamat sekolah, Rahma harus melanjutkan ke Perguruan Tinggi. Masih
mampukah keluarga ini membiayai pendidikan Rahma sampai tingkat
selanjutnya.
“Mbak
Ayu, Rahma sekolahnya sampai SMA saja ya?”, Rahma menyampaikan
keinginan itu kepada kakaknya. Dia cukup memaklumi kondisi keluarga.
Tetapi Ayu tidak menanggapinya, justru memberikan motivasi dan
mendorongnya untuk terus bisa melanjutkan sekolahnya.
“Rahma,
kamu harus terus bisa kuliah. Mbak akan berkerja ke kota agar kamu bisa
terus kuliah. Biar Mbak yang mencari biaya pendidikan kamu”. Ayu
meyakinkan adiknya agar kelak menjadi orang hebat.
Ternyata
mencari kerja di kota tidak mudah. Apalah arti ijazah SMP, paling
paling menjadi pembantu rumah tangga, atau pelayan toko. Itu pun harus
punya koneksi. Masuk penampungan Yayasan Penyedia PRT atau Baby sitter,
harus nanti diberikan kepada pengelola penampungan, atau tiga bulan gaji
untuk yayasan. Cukup lama Ayu mondar mandir, pindah kerja dari satu
kerja ke tempat kerja lain hanya karena gajinya terlalu kecil.
Sedangkan dia sudah punya komitmen membiayai kuliah adiknya.
Lelah
sudah usahanya untuk mengais rezeki. Dalam kelelahan itu dia bertemu
dengan seorang yang menawarkan pekerjaan dengan gaji yang cukup besar.
Tanpa berfikir panjang, tawaran itu diterima. Dan mulailah ia berkerja.
Sungguh
tak pernah terfikir dan tak pernah dibayangkan, ternyata pekerjaan yang
harus dilakukannya adalah menemani laki laki hidung belang.
Apa mau dikata, terlanjur basah ya sudah mandi sekalian. Cita citanya hanya satu yaitu membiayai kuliah adiknya.
Inilah
sisi kehidupan kota. Wajah wajah seperti Ayu terbilang jumlahnya. Motif
dan latar belakang sangat bervariasi dan berbeda beda. Ayu harus
berkerja, tidak ada pilihan lain. Dia tersenyum disaat orang orang
tersenyum, disaat orang orang tersenyum, padahal batinnya menjerit. Dia
harus tampil all out, padahal hatinya hanya untuk adiknya. Dia harus
mampu mengairahkan, padahal tidak mempunyai semangat, kecuali bagaimana
cara mendapatkan uang. Yang paling membuatnya “terpukul” adalah kata
hatinya yang bertentangan dengan kenyataan. Dia harus berbohong kepada
kedua orang tuanya. Dia harus berbohong kepada adiknya, dia harus
berbohong kepada dirinya sendiri. Mereka semua tidak pernah tahu apa
sebenarnya pekerjaan Ayu, selain hanya mendapat jawaban kerja di hotel.
Perjalanan
Ayu cukup panjang, dari satu meja ke meja lain, dari kamar ke kamar,
dari satu pelukan ke pelukan lain. Pernah ayu mencoba untuk berhenti,
tetapi cita citanya mengalahkan kata hatinya. Pernah juga Ayu datang
kepada seorang yang memiliki ilmu agama yang kuat, tetapi hanya mendapat
nasihat supaya berhenti dari pekerjaannya tanpa memberikan solusi
pekerjaan apa yang bisa mendatangkan rezeki.
Ayu
sadar apa yang dia lakukan adalah dosa besar. Maka itu di sela sela
kesibukannya sebagai pramusyahwat. Ayu masih melaksanakan ibadahnya dan
berdoa menangis kepada Tuhan Yang Maha Esa.
“Tuhan
adakah yang aku kerjakan ini masih mendapat bagian dari pahala?Tuhan
aku mohon Engkau memberikan jawaban, siapakah yang lebih mulia di antara
orang yang melacur demi mendapatkan kemuliaan-MU, ataukah orang yang
merampok, korupsi dan menggarong uang negara untuk melacur? Tuhan, beri
aku kesempatan untuk bertobat setelah selesai tugasku memuliakan
keluarga.”
Tidak
sia sia perjuangan Ayu. Rahma telah mampu menempuh pendidikannya dengan
tepat waktu, berhasil mendapatkan gelar sarjana. Tidak tanggung
tanggung, Rahma menjadi mahasiswi teladan, dan mendapat penghargaan.
Rahma
tak kuasa menahan tangis ketika disebut namanya, disaat wisuda, di saat
profesor menyerahkan gulungan kertas. Air matanya terus mengalir dan
dadanya sesak menahan keharuan. Segera dia berlari meninggalkan panggung
kehormatan mencari Ayu, kakaknya, di antara kerumunan orang banyak.
Semua
perhatian orang tertuju kepadanya, ada keheranan, karena upacara belum
selesai. Ada yang ikut berlari dibelakangnya, khawatir terjadi sesuatu.
Ayu ditemukan duduk di deretan paling belakang, lalu dipeluk dan dicium
bertubi tubi. Keduanya terlibat dalam keharuan, tak bisa berkata kata,
selain isak tangis dan sesenggukan. Orang bertanya tanya.
Di
situlah, Rahma menyatakan bahwa keberhasilannya adalah milik Ayu,
kakaknya. Tidaklah sebanding pengorbanan kakaknya dengan secarik kertas
sertifikat IJAZAH yang diterima. Terlalu tinggi nilai nilai kasih sayang
dan persaudaraan seorang kakak kepada adiknya.
Ayu
merasakan beban berat telah lepas dari pundaknya. Ayunan langkahnya
terasa ringan. Sumpah dan janjinya telah dibuktikan. Tanggung jawabnya
telah diselesaikan. Ayu kembali bersama Rahma, kembali ke rumah, kembali
kepada fitrahnya meninggalkan semua kehidupan suram yang bertentangan
dengan nuraninya.
Tidak ada yang terpikirkan lagi kecuali sampai di rumah lalu langsung mengelar sajadah, sujud mohon ampun kepada Tuhan.
Sesungguhnya Allah Maha Pemurah, Maha Penyayang, Maha Pengampun dan menerima taubat.
Kasih
sayang seorang kakak yang sungguh besarnya kepada adik yang ia cintai.
Hanya karena kesalahan seorang kakak dimasa kecil yang di tanggung oleh
adiknya guna melindungi kakak yang ia sayangi.
Cinta
seorang kakak kepada adiknya hingga rela menyuramkan masa depannya demi
adik dalam meneruskan pendidikan dengan cara menjajahkan tubuhnya
memuaskan nafsu bejad laki laki hidung belang.
0 komentar:
Posting Komentar