Angin bertiup cukup kencang. Di belakang
rumah terlihat pohon kelapa sesekali bergoyang. Hujan sebentar lagi akan
turun. Awan gelap terlihat bergelantung di langit, tiada kecerahan
diatas sana. Hujan turun membawa berkah, itulah kata ayah. Setiap kali
hujan mulai turun saat menjelang musim tanam padi. Hal itu tentu sangat
wajar, mengingat di desaku penduduknya lebih banyak bergantung pada
pertanian sebagai mata pencahariannya.
Hamparan persawahan sudah menanti untuk
diairi. Selama ini, air hujanlah yang menjadi harapan bagi warga sebagai
sumber pengairan. Ini membuat para petani, hanya mampu melakukan masa
tanam sekali dalam setahun. Dan itu ketika memasuki musim hujan,
biasanya menjelang november. Akan tetapi petani tidak pernah membiarkan
lahan kosong begitu saja, orang-orang banyak menanam tanaman palawija.
Kondisi ini sangat memprihatinkan, biaya yang harus dikeluarkan petani
terkadang tidak setimpal dari apa yang didapatkan.
Pernah seorang pengusaha dari luar desa,
membangun pompa air sebagai penopang pengairan. Saat itu para petani
mampu melakukan panen selama dua kali setahun. Dan hasilnya juga mampu
menutupi keperluan belanja rumah tangga serta kebutuhan biaya pendidikan
bagi orang yang masih menyekolahkan anaknya. Tapi hanya bertahan
beberapa musim tanam hingga pengusaha tersebut menarik kembali
mesin-mesin pompanya. Kenaikan harga bahan bakar, turunnya harga gabah,
membuat biaya yang dikeluarkan tidak sebanding dengan hasil yang didapat
dari pembagian hasil panen dengan petani.
Sejak itu, petani kembali mengandalkan
air hujan sebagai sumber mata air. Sawah-sawah hanya ditanami sekali
setahun, itupun dengan hasil yang tidak maksimal. Hal ini menjadikan
sawah banyak beralih fungsi, menjadi lahan penanaman pohon kakao. Meski
harus bersabar menunggu selama dua tahun lebih, baru mendapatkan hasil.
Namun para petani merasa hal itu lebih menguntungkan ketimbang menanam
padi. Setidaknya itulah yang dirasakan ayahku dan para petani yang
lainnya.
Entah kenapa, tiba-tiba saja hal Ini
membuatku khawatir. Saya tidak pernah membayangkan kalau sawah yang
dulunya tempat menanam padi, tanaman yang memproduksi makanan pokok
harus berganti. Dan hanya karena ketidakberdayaan masyarakat dalam
mengatasi kesulitan pengairan untuk persawahan. Kondisi ini sebenarnya
sudah berlangsung cukup lama, namun pemerintah setempat tidak pernah
melakukan sesuatu yang dapat mengeluarkan petani dari masalah tersebut.
Pernah suatu saat, aku berbincang-bincang
dengan warga yang lainnya. Saya mengatakan bahwa seharusnya pemerintah
harus berusaha mengadakan kembali mesin pompa air untuk mendukung
pertanian di kampung ini. Namun jawaban yang kuterima hanyalah, sikap
pesimistis dari warga. Hal ini sangat wajar, karena yang memegang
jabatan Pemerintah Desa saat ini memang sangat miskin pemikiran. Ia
tepilih hanya karena dorongan keluarga besarnya yang memang memiliki
pengaruh di masyarakat.
Hal itu kembali membuka memori di kepala
saya. Pada tahun 1991, saat itu umurku masih tujuh tahun dan masih tahun
pertama di bangku sekolah dasar. Ayah dan ibuku, terpaksa menitipkan
aku kepada keluarga. Karena kekeringan yang melanda, sawah-sawah
terpaksa dibiarkan tergelatak begitu saja. Tidak bisa menghasilkan
apa-apa, bahkan rumput liar saja enggan untuk tumbuh. Untuk memenuhi
kebutuhan keluarga, mereka harus mencari nafkah bersama warga lainnya di
daerah lain.
Membantu memanen tanaman padi milik para
petani, dan mendapatkan imbalan dari kerjanya itu. Daerah tersebut
didukung dengan pengairan bagus. Tempat itu juga terkenal dengan lumbung
beras di Sulawesi Selatan. Dari hasil yang didapat itulah keluarga kami
bisa tetap mengkonsumsi nasi dari beras. Meski kondisinya sekarang
lebih baik, ketakutan-ketakutan dimasa itu tetap menghantui pikiranku.
Saya sungguh tidak rela, jika penduduk desa yang masih memiliki
pertalian darah satu sama lainnya. Kembali mengalami masa-masa sulit
seperti yang dulu pernah terjadi.
Rimbun daun pohon kelapa masih saja
terlihat kokoh. Meliuk-liuk menahan gempuran angin yang bertiup cukup
kencang hari ini. Sesekali terdengar suara gesekan dahan pohon diatap
rumah. Pohon mangga harum manis di samping rumah, yang di tanam 20 tahun
lalu juga harus berjibaku menahan gempuran angin. Ia harus
terseok-seok, dahannya yang menjorok kerumah sesekali harus bersentuhan
dengan seng yang digunakan ayah sebagai atap rumah. Mendengar suaranya
gigiku sesekali terasa ngilu.Entah apa pengaruhnya bunyi dari geskan
daun dengan seng dengan gigi yang terasa ngilu. Tapi yakinlah ketika
kamu yang mendengarnya, pasti kau akan mengalami hal yang sama denganku.
Ayah terdengar memanggil dari kolom rumah. Membuatku berhenti berpikir dan memutar kembali rekaman masa lalu.
Kita harus kesawah sekarang. Katanya
dengan suara yang ccukup keras. Mengalahkan gemuruh atap yang tertimpa
air dari langit. Panggilan itu kujawab dengan segera beranjak. Mengganti
baju, lalu menuju kesampingnya.
Selama ini, ayahku hanya sesekali mengajakku untuk membantunya disawah. Hanya dalam keadaan genting, barulah ia memintaku membantunya. Itupun ketika bertepatan dengan hari libur kuliah. Ayahku adalah tipikal penyayang. Meskipun ia tidak pernah mengungkapkannya secara langsung. Hal itu hanya bisa saya rasakan ketika ia mengatakan, tugasmu adalah belajar sedang tugasku adalah mencari nafkah untuk mendukungmu.
Kata-kata itu terkadang, membuatku menangis dalam hati. Niat baiknya, ku balas dengan kemalasanku mengikuti perkuliahan. Pengetahaun yang kudapatkan dari luar bangku kuliah membuatku jemu dengan apa yang disajikan dunia akdemis. Terkadang absurd.
Selama ini, ayahku hanya sesekali mengajakku untuk membantunya disawah. Hanya dalam keadaan genting, barulah ia memintaku membantunya. Itupun ketika bertepatan dengan hari libur kuliah. Ayahku adalah tipikal penyayang. Meskipun ia tidak pernah mengungkapkannya secara langsung. Hal itu hanya bisa saya rasakan ketika ia mengatakan, tugasmu adalah belajar sedang tugasku adalah mencari nafkah untuk mendukungmu.
Kata-kata itu terkadang, membuatku menangis dalam hati. Niat baiknya, ku balas dengan kemalasanku mengikuti perkuliahan. Pengetahaun yang kudapatkan dari luar bangku kuliah membuatku jemu dengan apa yang disajikan dunia akdemis. Terkadang absurd.
Belum sampai di sawah, tubuhku sudah
mulai basah kuyup. Hujan memang cukup deras. Kali ini, pematang sawah
haus diperbaiki. Agar air hujan tidak terbuang percuma. Air itulah yang
nantinya digunakan dalam membajak sawah, sampai siap ditanami benih padi
yang sudah setinggi 10 cm.
Meskipun aku dilahirkan dari keluarga
petani, tapi aku tidak selihai teman-temanku yang lain dalam bekerja
diswah. Berbeda dengan teman sebayaku yang sudah dari dulu memutuskan
untuk bertani. Tapi kekurangan itu, tidak pernah dipermasalahkan
ayahku.Menemaninya bekerja sudah merupakan hal yang istimewa baginya.
Kalau saja ia mau, sebenarnya hari itu ia
tidak perlu memanggilku untuk membantunya. Karena hal itu sudah biasa
dia lakukan sendiri. Tapi ia rindu ditemani kesawah katanya. Hal yang
jarang saya lakukan, gara-gara kemalasanku untuk pulang kekampung,
meskipun saat itu hari libur. Jadi begitu aku datang, ia biasanya minta
untuk ditemani.
Begitulah cara kami melepas rindu. Sawah dan kebun jadi perantaranya.
Karena sawah tinggal beberapa petak, sisa dari lahan tanaman kakao. Maka kami tidak perlu terlalu lama untuk menyelasaikannya. Pada beberapa hari yang lalu, memang sebagian juga telah dikerjakan. Jadi tinggal memastikan sambil menambal kalau ada yang terlewatkan. Tidak lebih dari sejam, semuanya sudah beres.
Karena sawah tinggal beberapa petak, sisa dari lahan tanaman kakao. Maka kami tidak perlu terlalu lama untuk menyelasaikannya. Pada beberapa hari yang lalu, memang sebagian juga telah dikerjakan. Jadi tinggal memastikan sambil menambal kalau ada yang terlewatkan. Tidak lebih dari sejam, semuanya sudah beres.
Pisang goreng ditemani kopi pekat sudah
tersaji diatas meja. Ibu, memang tahu betul apa yang harus disiapkan
dalam keadaan kedinginan seperti ini. Pakaian basah kini sudah berubah
jadi kering. Saatnya menyantap menu istimewa ala ibu dari tiga anak yang
bertugas mengurusi kerja rumah tangga. Rasanya nikmat, kataku sambil
menatapnya dengan wajah sedikit manja.
Kerinduan suasana rumah yang terkadang
membayangi selama mengikuti perkuliahan terbayarkan sudah. Melepas
kangen dengan ayah di sawah. Dan melepaskan rindu ke ibu, dengan
mencicipi hasil karyanya sebagai seorang ahli dapur dikeluarga kami.
Sungguh aku bahagia dengan semua itu. Tak akan aku lupakan semua ini.
0 komentar:
Posting Komentar