Blog Baru

Semua ada disini

Taurus Blogger

disini banyak artikel menarik

Wisata Yuk...!!!

Website tentang pariwisata di Malang Raya

Mari Memasak

Disini banyak aneka resep Masakan dan Minuman

Taurus Site

Blog Baru yang berisi motivasi

MEMOTIVASI DAN TERUS MENCARI JATI DIRI

Ditemukan Planet Tanpa Matahari

02.48 |


Ilmuwan menemukan sebuah planet yang tak mengorbit pada bintang. Lonely planet yang disebut CFBDSIR2149 ini ditemukan mengambang di jagat raya, tanpa melakukan evolusi atau kegiatan mengelilingi bintang seperti dilakukan bumi atas matahari.

Ini adalah planet pertama yang terisolasi dari jenisnya yang pernah ditemukan oleh para ilmuwan, setelah lebih dari satu dekade mencari, dalam proses digambarkan sebagai "mencari jarum tunggal dalam ribuan tumpukan jerami."

Sampai tujuh kali ukuran Jupiter, planet itu mengambang bebas tanpa ikatan gravitasi dan memenuhi kriteria tertentu massa, temperatur dan usia yang akan ditunjuk sebagai "planet". Usia antara 50 dan 120 juta tahun, memiliki suhu sekitar 400 derajat Celcius dan diyakini menjadi bagian dari sekelompok sekitar 30 bintang yang sangat muda yang dikenal sebagai Kelompok Doradus AB Pindah.

Planet itu sendiri ditemukan oleh para peneliti di University of Montreal, yang berkonsultasi dengan rekan-rekan Prancis dan data dari Kanada-France-Hawaii Telescope dan Teleskop Observatorium Selatan Eropa Sangat Besar. Meskipun para ilmuwan telah mengetahui jenis planet "tunawisma" ada, mereka belum mampu mengamatinya sampai sekarang. Hal ini diyakini planet terpencil bisa saja terpental dari badan-badan lain selama pembentukannya.

Penemuan ini diharapkan membuat para astronom mendapat pemahaman yang lebih besar. Keberadaannya sangat mendukung teori bahwa jenis objek "tunawisma" lebih umum dalam ruang daripada saat berpikir. "Meskipun teori telah membentuk keberadaan jenis planet yang sangat dingin dan muda, namun belum pernah diamati sampai saat ini," kata Étienne Artigau, astrofisikawan.

"Objek ini ditemukan selama scanning yang setara dengan 1.000 kali permukaan bulan purnama. Kami mengamati ratusan juta bintang dan planet-planet, tetapi kami hanya menemukan satu planet tunawisma di lingkungan kami. Sekarang kami akan mencari mereka di sumber astronomi yang lebih jauh. Ini seperti mencari satu jarum dalam ribuan tumpukan jerami."

Tim astronom akhirnya mampu mempelajarinya karena kedekatannya komparatif, dan tidak adanya bintang terang yang sangat dekat dengan itu. "Mencari planet di sekitar bintang mereka mirip dengan mempelajari kunang-kunang duduk satu sentimeter dari lampu mobil yang terang," kata Philippe Delorme, penulis utama dari Institut de planetologie et d'Astrophysique de Grenoble, Perancis. "Objek yang mengambang bebas ini menawarkan kesempatan untuk mempelajari secara rinci kunang-kunang tanpa lampu menyilaukan dari mobil mengacaukan segalanya."

Jonathan Gagné, mahasiswa doktoral fisika di Udem, menambahkan, "Selama beberapa tahun terakhir, beberapa objek dari jenis ini telah diidentifikasi, namun keberadaan mereka tidak dapat ditentukan tanpa konfirmasi ilmiah usia mereka. Para astronom tidak yakin apakah akan mengkategorikan mereka sebagai planet kerdil atau sebagai brown." Brown dwarf adalah bintang gagal, karena mereka tidak pernah berhasil memulai reaksi nuklir di pusat-pusat mereka.

Kata "planet" berasal dari bahasa Latin, planetus. Awalnya berasal dari kata Yunani, planeta-planêtês, arti bergerak atau mengembara benda-benda angkasa. Definisi membedakan mereka dari bintang, yang tampaknya berada dalam posisi tetap di langit.
Read More

Rohis Manis Bukan Teroris

02.36 | , , , ,


Beberapa hari ini ramai pemberitaan tentang Rohis sebagai tempat pembibitan teroris yang disiarkan oleh salah satu stasiun tv swasta. Alhamdulillah, sudah banyak protes yang dilayangkan dalam bentuk pengaduan ke KPI yang membuat pihak terkait membuat surat permintaan maaf, meskipun banyak yang kurang puas dari bentuk pernyataan maaf itu.


Nah, tentu dan sudah pasti, saya termasuk salah satu yang protes dari pemberitaan itu. Karena saya adalah anak Rohis. Mari, mari, sejenak kita lupakan berita teroris, saya akan berbagi hal manis yang saya dapat di rohis. Boleh, boleh, disimak bersama sepotong roti manis dan secangkir teh manis.


Semua yang pernah duduk di bangku pendidikan terutama SMP dan SMA, pasti tau banyak ragam ekstrakulikuler di sekolah. Paskibra, Futsal, Basket, PMR, dan sudah pasti Rohis. Biasanya ada kewajiban dari sekolah untuk memilih dan aktif mengikuti kegiatan ekskul sebagai persyaratan kenaikan kelas. Nah, kita tinggal pilih saja mana yang sesuai dengan minat dan bakat kita, di mana wadah yang bisa menampung kreativitas kita dan membuat kita berkembang.


Dan bagi saya, berada di wadah ekskul Rohis adalah hal termanis dari rasa persahabatan dan pembelajaran yang saya rasakan. Karena saya pikir, Rohis itu ekskul yang paling aman, paling alim, kegiatannya paling ngaji aja, gak ada deh kakak-kakak galak yang doyan nge-bully. Meskipun pada awalnya saya merasa tersesat dari alasan saya, tapi ternyata tersesat di jalan yang benar. Hehe.


Pertama kali bergabung dengan Rohis ketika saya SMA. Sekolah saya termasuk sekolah favorit nan eksis, anak-anak perempuannya cantik-cantik dan manis, juga penampilannya yang borjuis. Jika disejajarkan dengan mereka, saya tidak percaya diri, rasanya mereka itu terlalu tinggi dan tidak tergapai untuk saya imbangi agar bisa berteman dengan mereka. Istilah kerennya, saya gak selevel sama mereka (kasian banget ya..). Parahnya lagi, sifat dasar saya itu pendiam dan pemalu, apalagi kalo ketemu teman baru, susah mengingat nama, gak pandai basa-basi, gengsi ngajak kenalan duluan. Jadilah, Rohis sebagai tempat yang saya rasa aman untuk sifat saya ini. Hehe.


Alhamdulillah, hal termanis pertama yang saya temui di Rohis adalah kakak-kakak yang manis *Eh*. Hehehe. Seriously, mereka sangat murah senyum dan selalu mengucapkan salam jika bertemu. Sambutan awal yang hangat, sehingga saya nyaman dan rajin datang setiap minggunya untuk mentoring di masjid sekolah. Aah, saya ingat dengan jelas, saya masih malu-malu gitu, hehe, cuma ngomong kalo ditanya sama kakaknya. Duh, senangnya kalo lagi sesi sharing dan curhat, haha. Di mentoring itulah saya belajar untuk “speak up”, meskipun hanya di dalam kumpulan yang jumlahnya hanya 10 orang saja, buat saya itu udah bikin keringat dingin. Tapi kakak-kakak Rohis selalu menyemangati, dan dengan sabar memberikan setiap anak waktu dan kesempatan bergilir untuk berbicara dan mengutarakan pendapatnya. Dan ternyata, semua itu mudah dan luar biasa ya kalo bisa mengutarakan apa yang ada di pikiran dan perasaan kita.


Karena di Rohis, saya mulai mendapatkan rasa percaya diri, maka saya mencoba bergabung ke komunitas atau perkumpulan lain yang lebih besar, yang lebih banyak anggotanya. Dan saya jadi senang berteman, berkenalan dengan teman baru, bertukar pikiran dan berbagi informasi.


Jadi, dari Rohis saya belajar untuk bisa mengatur dan mengubah sifat-sifat baik dan yang kurang baik di dalam diri saya. Terutama sifat pendiam dan pemalu. Sedikit demi sedikit, porsinya disesuaikan dengan tempat dan keadaan. Karena kalo kita cuma diam aja dan malu (apalagi gengsi, padahal mah mau), gak ada yang bisa kita dapatkan, gak ada yang bisa kita raih kalo diam aja dan gak berani speak up.


Di Rohis juga saya menemukan cara yang tepat untuk mengutarakan pikiran dan perasaan saya, salah satunya melalui tulisan. Dan yang lebih penting lagi, hal utama yang saya dapat di Rohis, bahwa semua yang kita lakukan, besar atau kecil, niatkan hanya untuk Allah, demi mendapat ridho Allah.


Maka beriring tulisan ini yang saya harap penuh dengan ridho dari Allah, saya persembahankan untuk saudari saya di Rohis. Terimakasih untuk persahabatan yang begitu manis. Juga untuk adik-adik yang sekarang ada di Rohis, jadilah anak yang manis, tunjukkan kalo kalian bukan teroris, tapi pemuda yang selalu optimis. :D
Read More

Secangkir Teh Buatan Ayah

02.34 | , , , ,


Terkadang, hal kecil yang dilakukan oleh orang lain untuk kita, terasa tidak berarti apa-apa sebelum ada orang lain yang menceritakannya kepada kita, dan memberitakan hikmahnya.
Dan, ini adalah kisah adikku, Riska, yang baru menyadari hikmah di balik secangkir teh buatan ayah, setelah bertahun-tahun menganggap itu adalah teh yang biasa-biasa saja...

***

Ini adalah wawancara kerja ke-sekian kalinya yang telah dilalui oleh Riska. Tapi wawancara kali ini lebih berkesan. Bukan hanya karena Sang Direktur BUMN itu sendiri yang mewawancarai, tapi juga karena apa yang disampaikannya seperti mengingatkan Riska pada barang kesayangan yang dulu pernah hilang dan belum ditemukan kembali.

Sang Direktur itulah yang menemukannya. Orang yang tak diduga-duga, telah mengembalikan ‘barang kesayangan’ miliknya yang hilang.

“Jadi, setelah kamu merenung sekian lama, tahukah kamu apa itu integritas?”

Mungkinkah integritas yang dimaksud Bapak ini sama dengan integral yang kupelajari saat kuliah dulu?  Tanyanya sendiri dalam hati.

Riska menggeleng. Sang Direktur menghela nafas berat.

“Oke, sekarang saya mau tanya, bagaimana suasana keagamaan di rumahmu? Sangat agamis? Biasa saja? Atau malah antipati?”

Ah, ini BUMN berbasis syariah. Maka beginilah pertanyaannya.

“Sangat agamis,” jawab Riska pendek. Ia mengelap keringat di atas bibirnya dengan tisu yang ia lipat rapi menjadi bujur sangkar kecil.

“Kalau begitu, ceritakan! Ceritakan apa yang dilakukan ayahmu dari ia bangun pagi sampai ia tidur! Saya ingin tahu, seberapa agamisnya?”

Riska menyandarkan punggungnya pada kursi, berusaha rileks. Ia pejamkan matanya sesaat, dan cerita mengalir dari bibirnya.

Ayah, sepanjang ingatan Riska, selalu bangun sebelum Subuh. Mengawali hari dengan sholat qiyamullail. Selepas solat, Ayah akan menjerang air di ketel. Sambil menunggu air itu mendidih, Ayah akan membuka Al-Qur’an, membacanya dengan suara membahana yang terdengar seisi rumah. Kadang, Riska terbangun karena suara Ayah mengaji.

Setelah air mendidih, Ayah menyeduh kopi untuk dirinya, dan teh-teh untuk seluruh anggota keluarga. Jika ada roti—dan memang hampir setiap hari ada roti—Ayah akan mengolesi roti dengan mentega atau selai. Lalu Ayah hidangkan di piring. Beres dengan itu semua, Ayah akan bangunkan, pertama-tama, dua adik laki-laki Riska untuk bersiap sholat Subuh di masjid dekat rumah.

Selalu begitu setiap hari. Tak ada hari libur di mana Ayah tidak melakukan semua ritual itu.

“Kenapa Ayahmu membuatkan teh untuk anak-anaknya?”

“Ayah sengaja membuatkan kami teh, supaya ada sesuatu yang bisa kami nikmati begitu kami membuka mata. Juga, supaya adik-adik saya yang laki-laki mau bangun pagi dan sholat di masjid. Mereka suka sekali teh.”

“Selalu begitu setiap hari?” tanya Sang Direktur.

“Ya, itu rutinitasnya,” jawab Riska.

Sang Direktur tersenyum samar sebelum akhirnya ia berucap: “itulah integritas.”

“Oh ya?” Riska membulatkan matanya. Sesederhana itukah integritas?

“Ya,” Sang Direktur menjawab tegas. “Ayahmu ingin setiap anak laki-lakinya sholat subuh di masjid. Dan ia tidak sekedar memerintah dengan ucapan, tapi ia memberikan contoh, memfasilitasi, dengan ngotot, terus-menerus, tidak peduli bahwa sebetulnya, ia mungkin bosan harus membuatkan teh untuk kalian semua, agar sekadar kalian mau bangun pagi...”

“Tidak banyak kalimat perintah yang mungkin ia katakan. Hanya contoh nyata, bahwa perkataan dan perbuatan seiring sejalan.” Urai Sang Direktur. “Dan kau tahu?” tanyanya kemudian, “Itulah yang bedakan antara Ayahmu, dan koruptor!” Sang Direktur memberi tekanan pada kata terakhir.

Tiba-tiba saja, hati Riska meleleh. Sebesar itukah makna secangkir teh di pagi hari, yang selalu ia teguk begitu keluar kamar tidur, saat matanya bahkan belum benar-benar terbuka?

“Riska, koruptor mungkin lebih fasih mengumandangkan kalam Ilahi daripada ayahmu. Ilmu agamanya bisa jadi lebih luas dari yang dimiliki Ayahmu. Tapi, apa yang mereka katakan, ilmu yang mereka peroleh, tidak mereka jadikan sebagai prinsip hidup. Tidak mereka laksanakan pula berupa wujud nyata. Mereka merasa cukup dengan bicara, bicara, bicara...”

“Para koruptor, mereka seorang Ayah juga, mungkin hanya teriak-teriak membangunkan anak-anaknya di pagi hari. Kemudian di meja makan, menasehati: “Nak, kamu harus rajin sholat ya! Kamu harus rajin dateng TPA ya! Kalau nggak, mau jadi apa kamu nanti?” padahal, si Ayah itu, terlihat sholat di rumahnya pun jarang!”

Air mata Riska mulai tampak nyata.

“Kenapa kamu menangis?” tanya Sang Direktur.

“Karena—karena saya baru sadar, bahwa apa yang dilakukan Ayah selama ini, sangat berarti. Selama ini, saya hanya melihatnya sebagai sebuah rutinitas...”

Dan saya seperti menemukan barang kesayangan yang telah lama hilang... lanjut Riska dalam hati.

Terbayang wajah Ayah. Terbayang apa yang ia lakukan tiap pagi. Dan, teringat, bahwa belum sekalipun Riska berterimakasih pada Ayah untuk itu...

Ah, integritas seorang Ayah...

Ternyata, untuk menemukan makna atas apa yang Ayah lakukan setiap pagi, ia harus mencarinya sejauh ini; enam tahap tes tertulis yang semuanya dilakukan di Jakarta—puluhan kilometer dari rumahnya, dan bertemu Pak Direktur yang telah mewawancarainya sejam lebih! Terimakasih! Alhamdulillah!
Read More

Setetes Embun Untuk Putri Malu

02.29 | , ,


Di pagi buta, rumah Ibu Nana diwarnai dengan teriakan. Bagaimana tidak ? Sasa anak dari Ibu Nana, lagi-lagi mencoba untuk bunuh diri.
“Ya ampun, anakku kenapa mau lakukan itu” kataku sambil menangis.
“Ku gak mau, menyusahkan keluarga ini dengan kehadirnku” balasku dengan sedikit kesal.
“Sasa gak pernah menyusahkan sama sekali” jawabku dengan menghibur.
            Namaku adalah Sasa, ku adalah anak pertama dari 3 saudaraku. Aku sejak dilahirkan, aku memang sudah tak sempurna. Kakiku sudah lumpuh, jadi sampai sekarang ku pun berjalan menggunakan kedua tanganku.
            Kenapa sih Tuhan, menciptakan aku ?. Kalau tidak sempurna, dan hanya menyusahkan keluargaku saja. Seharusnya aku yang menafkahi keluarga ini, karena Ayahku udah pergi dengan perempuan lain. Mungkin sudah lupa akan keadaan ini dan dia bahagia.

“Bu, bagaimana Sasa dititipkan dipanti atau yayasan sosial saja” kataku dengan yakin.
“Tidak” jawabku dengan singkat.
“kenapa tidak Bu ?” tambahku bertanya lagi.
”Sekali tidak tetap tidak” balasku dengan nada marah.
“kan bisa meringankan beban keluarga ini bu” ucapku dengan menunduk.
“Sasa itu anak Ibu dan Ibu yakin masih bisa merawat Sasa dan menafkahi keluarga ini”jawabku dengan menangis.
            Ku pun lalu menangis dipelukan Sasa, dan kami berdua pun menangis.
“mengapa Tuhan menguji kita seberat ini Bu” kataku menghadap Ibu.
“Sabar aja anakku” jawabku dengan mengelus kepalanya.
            Namaku Nana, Ibunya Sasa. Pekerjaanku hanyalah sebagai pembantu rumah tangga dan tukang cuci dikampungku, ku mempunyai 3 anak. Pertama Sasa namanya dan dia berumur 24 tahun, tapi sampai sekarang tak ada yang meminang anakku.
            Anak kedua ku adalah Cici, dia belajar sampai tamat SMP saja soalnya ku bergantian membiayai adiknya yang masuk SD. Anak ketiga ku, cowok sendirian namanya Rahman. Untung saja SD sekarang gratis, jadi Cici bisa melanjutkan SMA dan dengan surat keterangan tidak mampu.
            Aku adalah Sasa, perempuan yang hidupnya sendiri. Ku bangga dengan adikku Cici soalnya selain dia sekolah, dia pun rajin membantu Ibuku. Berbeda denganku yang hanya duduk,diam saja seharian dirumah.
            Suatu hari pun dirumah keluarga Ibu Nana, kedatangan seorang lelaki yang bernama Dedi. Ternyta maksud kedatangan Dedi adalah ingin meminang Cici, adik kandung dari Sasa.
            Pada saat itu pun Sasa mengalami beban mental yang berat, bagaimana tidak ?. Adiknya sendiri mau membuat keluarga sendiri, sedangkan aku sendiri hanya bisa terdiam. Tapi biarlah, asalkan adikku bahagiaa aku juga turut bahagia.
“Ibu, nama saya Dedi. Saya ingin melamar anak Ibu, yang bernama Cici. Apa Ibu mau mengijinkannya ?” kataku dengan tutur kata yang sopan.
“Ibu sih terima saja nak Dedi, tergantung dari Cicinya sendiri” jawabku dengan senyum ringan.
“Iya Bu” ucapku dengan membalas senyum balik.
“Tunggu Cici pulang dari pasar ya nak” balasku dengan menatap kesungguhan Dedi.
            Sambil ku menuggu Cici, ku pun ngobrol macam-macam. Tak berlama pun aku setelah menobrol dengan Ibu Cici, ku pun melihat seseorang sedang berjalan dengan tangan bersama anak kecil. Ku pun bertanya pada Ibu Cici dan Ia jawab, ternyata itu kakaknya Cici yang bernama Sasa dan anak kecil itu adiknya yang bernama Rahman dan mereka sedang bermain bersama.
            Ibu Cici pun bercerita semua tentang keluarganya dan termasuk tentang Sasa, lama-lama ku pun terpesona melihat sosok Sasa. Ibunya pun bercerita kalau dia itu pemalu, karena keterbatasannya.
            Tak berapa lama Cici pun datang dan menemui Ibu bersama Dedi, dan mereka pun ngobrol. Yang tadinya Dedi mau melamar Cici, tiba-tiba bilang ingin pendekatan keluarga dulu. Dedi pun dikenalkan oleh Cici semua kelurganya, termasuk berkenalan dengan Kakaknya Cici yaitu Sasa.
            Aku pun berkenalan dengan Sasa, dia bercerita berbagai macam. Dengan senyumnya ku selalu teringat, ku pun semakin tertarik dengan Sasa dan melupakan Cici.
            Cici pun mulai merasa cemburu akan kedekatan Dedi dengan Kakaknya, Pada suatu malam pun terjadi pertengkaran dahsyat antara Ibu dan Cici membahas tentang Dedi.
“Bu, Sasa merebut Dedi” Ucapku dengan nada tinggi.
“Mau gimana lagi nak”balasku dengan sedikit menenangkannya.
“Kakak bikin susah dan repot saja” kataku diluar kendali.
            Tak sengaja Sasa pun mendengar perkataan adiknya itu, ia pun berfikir meninggalkan rumah saja. Cici pun merasa Ibunya selalu membela kakaknya dan menganggapnya pilih kasih, Selesai pertengkaran yang menghasilkan jalan buntu. Saat mereka kekamar Sasa, Sasa pun sudah lenyap entah kemana.
            Mereka pun panik, mereka semua mencari Sasa semalaman dengan menangis. Tiba-tiba 2 jam kemudian, tepat tengah malam dingin yang menyengat. Dan dengan diselimuti embun malam, Sasa pun kembali kerumah bersama Dedi.
            Dedi menceritakan semua kejadian ini ke keluarga Sasa, Saat aku dijalan menuju pulang tak sengaja aku melihat Sasa ingin bunuh diri dan aku pun menolongnya. Pada saat itu pun Cici menyadari lebih baik membahagiakan orang lain, dibandingkan membahagiakan diri sendiri. Cici pun merelakan Dedi untuk bersanding dengan kakaknya, Sasa pun sempat menolak karena minder dengan keadaannya tetapi Dedi mencoba meyakinkannya.
            Beberapa minggu kemudian, Dedi dan Sasa naik kepelaminan dan memulai hidup baru. Senyuman pun terpancar dari bibir mereka, keluarga dan Cici pun merasa bahagia sekali.
            Sejak hidup dengan Dedi, Sasa pun mulai memberanikan diri untuk melakukan sesuatu meski dengan keterbatasannya. Karena semua tak ada yang tak mungkin, karena cinta bisa merubah segalanya dan Tuhan yang memutuskannya
Read More

Menangislah Bumiku

02.25 | , , ,


Bumi menangis sepenuh hari ini

Sepanjang siang serentang malam

Lelehan air matanya tak kunjung merantas

Isak sedunya tak juga mereda

Tak secuilpun iramanya menyisakan kesukaan

Melesak dalam ke jurang iba

Entahlah yang ia rasakan

Agaknya…

Kenistaan masih saja dilakonkan di pangkuannya

Air mata itu tak sampai muara

Isak sedu itu selamanya tanpa jeda

Sampai semua nista

Berhenti dipentaskan
Read More

SAJAK - SAJAK KELAM

02.22 | , , ,

Sajak ini doa, tangan yang menampung luka, yang menjagamu, agar kau tak pernah merasa sendirian, dan ditinggalkan.
Mencintaimu merupakan caraku berdoa setiap hari, untuk semua kebahagiaan kita.
Aku telah belajar merasakan pedih, lewat ciuman-ciumanmu yang lembut dan menanggung duka dunia.
Kupandangi langit lembut itu, seakan berada dalam keluasan matamu; dan kutemukan sebuah dunia, yang lebih ajaib dari surga.
Kekasihku, selalu ada yang pantas kita muliakan, yang membuat kita akan terus bertahan, bahkan dalam kepedihan.
Aku punya cara sederhana mencintaimu: dengan selalu mendoakan kebaikan dan keselamatanmu…
Sesuatu, yang kausebut kenangan, telah membukakan padaku rahasia, cara mencintaimu tanpa pernah merasa kehilangan.
Kangen ini. Laut tak bertepi…
Entah kenapa, aku ingin membelikanmu jaket, yang setiap kali kaupakai, akan juga menghangatkan kerinduanku.
Aku masih saja menerka-nerka, lebih merah mana, senja ataukah luka, yang kau sembunyikan sekian lama.
Ada banyak cara berbahagia; satu-satunya cara yang tak pernah kubisa ialah melupakanmu.
Duka hanyalah mentega yang meleleh di penggorengan panas.
Senja yang muram, selalu mengingatkan pada ciuman kita yang tergesa dan gemetar.
Ada saat-saat ketika mencoba melupakanmu, semua benda yang dulu pernah kita sentuh, seperti berbicara kembali tentang kamu.
Darimu aku faham, bila airmata ialah rahasia penciptaan Tuhan, yang paling menakjubkan.
Malam, sesungguhnya, tak pernah memejam. Ia hanya diam-diam menyembunyikan luka kita dalam kelam, agar kita bisa tidur tentram.
Aku akan jadi doa malammu. Sementara kau perlahan memejam tentram, aku akan menggapai langit: mengetuk pintu surga bagimu.
Read More

Pada Hari Ulang Tahunmu, Aku Menduga - Duga

02.21 | ,


kukira jarak antara kita
hanya sebentar tempuh perjalanan,
tapi aku masih juga harus tersesat
untuk sampai kepadamu,
menyuguhkan diri pada perayaan itu.
kau pun memulai pertemuan
dengan menyanyikan kesedihan itu.
sambil memejamkan mata,
kau meminjam kata-kata
untuk mengantarkanmu
pada kenangan yang jauh,
yang tak pernah terjangkau
oleh panjang lengan ingatan.
kau terus menerus menuang mabuk
di kepala dan dada,
agar bisa kau sepenuhnya lupa,
bahwa pada hari ini, di tempat yang lain,
ada yang merayakan kesedihannya
dengan meniupkan sebuah lilin dan sebuah doa:
“semoga tahun depan, aku masih bisa
meniupkan sebuah lilin lagi, untukmu.”
Read More

BOLA, BULAT, BUNDAR dan BANYOLAN

02.19 | , ,

Sepak bola merupakan produk kebudayaan manusia yang paling konyol! Barangkali, itulah sebabnya Butet “Sarimin” Kartaredjasa tidak menyukainya. “Saya ndak pernah bisa memahami, bagaimana mungkin ada 22 orang mau berlarian kesana-kesana kemari saling jegal rebutan bola? Itu kan absurd. Beri saja masing-masing satu bola, pasti ndak lagi rebutan. Lagi pula, dari pada rebutan bola, kan mendingan seperti para politikus kita yang dengan gigih rebutan kursi kekuasaan…” Tentu saja, itu kelakar khas si Raja Monolog itu.
Tapi kelakar itu membuat saya jadi memahami: betapa memang ada perspektif komedis dari bola. Disamping bulat dan bundar, bola ternyata penuh banyolan juga. Ketika sepak bola dari waktu ke waktu makin industrialis dan dikembangkan pada pada tingkat yang makin menghibur dan sempurna melalui pola permainan eksplosif semacam total football atau ekspresif sebagaimana para pemain Brasil menarikan samba-bolanya, maka selalu saja ada kelucuan-kelucuan, yang membuatnya makin “manusiawi”. Tapi, tentu saja, ada tingkat-tingkat kelucuan, yang membuat sesuatu kemudian menjadi memiliki nilai, atau cuman membersitkan banyolan konyol.
Seorang kawan membawa kabar yang cukup mengagetkan: bahwa Nurdin Halid, Ketua PSSI, yang kini mendekam di penjara, terpilih menjadi ketua FIFA. Dalam sidang tahunan di Wina yang di hadiri 153 wakil dari seluruh anggota FIFA, Nurdin Halid memenangkan pemilihan jabatan ketua FIFA secara mutlak. 150 delegasi mendukungnya, hanya 2 wakil yang menolak, dan 1 abstain. Tentu kabar ini menggembirakan bagi persepakbolaan Indonesia. Tetapi, usut punya usut, seorang doktor psikologi dari Denmark akhirnya bisa menjelaskan kenapa Nurdin Halid bisa terpilih. “Ternyata para wakil delegasi dari seluruh dunia itu mendadak terjangkiti apa yang disebut sebagai ‘syndrome pengurus PSSI’. Sindrom inilah membuat mereka menjadi buta, tuli dan bisu. Persis seperti para pengurus PSSI saat ini…”
Kalau ini adalah perspektif kelucuan sepakbola kita, sudah pasti itu banyolan yang hanya membersitkan kegetiran.
Ada lagi satu banyolan tentang kesebelasan PSSI kita tercinta, yang bertanding melawan tim nasional Jerman. “Kesebalasan kita berhasil mencetak 7 gol!” kata temen saya. Hebat. Luar biasa, saya terkagum-kagum. “Maksud saya, mencetak 7 gol ke gawang sendiri…” lanjut kawan saya sambil nyengir. Para pemain kita, tentu saja punya “banyak alasan” kenapa mereka tak pernah menang, apalai bila main di kandang.
Seorang teman saya yang lain mencoba menjelaskan soal tradisi kalah melulu itu. “Bila bahasa menunjukkan bangsa, maka sepakbola sebenarnya merefleksikan mentalitas bangsa. Nah, sebagai bangsa, kita adalah bangsa yang ramah dan selalu menghormati para tamu yang datang. Lah, kalau kesebelasan asing yang datang ke sini kita kalahkan, kan nanti kita bisa dicap sebagai bangsa yang tidak menghormati tamunya. Nanti mereka nggak mau lagi datang ke Indonesia. Kan bisa berabe. Bisa dianggap tidak mendukung program Visit Indonesia dari Kementrian Pariwisata.”
Saya mesem, dan ingat pada kesebelasan Arab, yang sulit menang bila bertanding di tingkat Piala Dunia: karena bagi orang Arab, tidak apa-apa kalah di dunia, asal dapat kemenangan di akhirat nanti.
Anda, pasti, bisa menambahkan banyak lagi lelucon seputar sepak bola. Semua itu, sesungguhnya merupakan salah satu cara bagi kita untuk makin mencintai dan memahami sepak bola. Lelucon adalah sebuah cara pandang yang bisa melihat suatu persoalan secara berbeda. Kemampuan untuk melihat bahwa ada sesuatu yang telah terjadi tidak sebagaimana mestinya. Makanya, filsuf Schopenhauer mengatakan, “orang tersenyum karena melihat sebuah kenyataan yang tak sesuai dengan kenyataan yang seharusnya.” Orang tertawa karena melihat paradoks. Dan kita tahu, dalam sepak bola pun begitu banyak paradoks. Paradoks itu bisa mewujud dalam tragedi, seperti ketika Pablo Escobar, pemain Kolombia yang menlakukan gol bunuh diri, ditembak oleh pendukungnya sendiri. Paradoks itu bisa pula berupa tamparan ironis sebagaimana diperlihatkan oleh para pengurus PSSI yang begitu gigih dan dengan semangat ‘45 membela ketuanya yang sudah dengan sah dan meyakinkan secara hukum telah divonis penjara.
Setiap lelucon, pada akhirnya memang tidak berhenti hanya pada kekonyolan. Karena sebagaimana diyakini Gene Perret, setiap lelucon memang merefleksikan kebenaran. Para tiran tidak menyukai lelucon, karena mereka memang takut pada kebenaran (yang terkandung dalam lelucon-lelucon itu). Pada tingkat ini, melihat sepak bola dengan perspektif humor pada akhirnya menjadi cara untuk melawan kultur yang “tertutup”, anti dialog, dan mau menang sendiri. Benarlah apa yang dikatakan Michail Bachtin, “budaya tertawa itu sehat dan perlu buat kultur yang sumpek dan kaku.” Masyarakat yang tidak memiliki budaya tertawa, ibaratnya masyarakat yang dalam istilah Latin diungkapkan sebagai coligo in sole (melek tapi tidak melihat).
Jadi, yang penting bukan “ketawa”-nya itu, tetapi lebih ada “budaya ketawa”. Jadi, kalau memakai jargon Orde Baru, marilah mulai sekarang kita meningkatkan budaya ketawa yang adil dan beradab sesuai dengan Pancasila dan UUD ’45 (yang sekarang ini sudah diamandemen berkali-kali), bukan UUD Ujung-Ujungnya Duit seperti dinyanykan Slank. Budaya ketawa bisa dilihat dari kualitas dan jenis folklor atau anekdot yang berkembang dimasyarakat, dan bagaimana kemudian masyarakat menjadikan bahan-bahan tertawaan itu tidak hanya digunakan untuk menghibur diri, tetapi yang lebih penting ialah untuk merefleksikan diri. Itulah kualitas sense of humour yang diperlukan ketika kita begitu hiruk pikuk menikmati tontonan bola. Tanpa itu, barangkali kita nanti akan menyesali: betapa kita dari tahun ke tahun, dari event bola ke event bola lainnya, ternyata kita hanya menjadi “penonton sepak bola abadi”, yang hanya menempatkan bola sebagai hiburan, tetapi tidak pernah merasa tercerahkan.
Dengan sense of humour kita bisa “menghibur diri”: biarlah, kita (sebagai bangsa) tidak pernah merasakan kegairahan dan kegembiraan menjadi pemain yang terlibat langsung dalam perhelatan akbar bola, semacam Piala Dunia. Kita sepertinya memang terus menerus “dikutuk jadi penonton” yang dengan suka rela begadang di depan televisi. Tapi setidaknya kita bisa menjadi penonton yang mampu memetik inspirasi dari pertandingan-pertandingan yang kita tonton itu. Lantaran, apa boleh buat, kita memang tidak pernah mendapatkan inspirasi yang baik dalam bentuk apapun dari kelakuan para pemimpin kita yang kita tonton tiap hari.
Dengan sense of humour kita belajar memahami persepakbolaan kita yang makin terasa konyol. Tapi dengan sense of humour itu pula kita tetap berusaha tidak kehilangan kewarasan dan kecerdasannya. Dengan begitu, sepak bola bisa menjadi alternatif wacana yang memperkaya penghayatan kita pada hidup yang tambah sumpek ini. Bola yang bundar sering dimetaforakan sebagai nasib yang tak gampang diduga. Dan nasib, memang, seringkali konyol. Tapi setidaknya kita bisa berharap, dengan menonton bola, kita tidak sedang menyaksikan nasib kita sendiri yang ditendang ke sana kemari.
Read More

Ny. Fallacia

02.17 | ,


NYONYA FALLACIA
Cerpen Agus Noor
Rumah itu seperti kutil di wajah cantik. Menyebalkan, dan ingin secepat mungkin membuangnya. “Bila rumah itu di singkirkan, maka gerbang perumahan kita akan terlihat bersih,” Nyonya Li, dengan suaranya yang cempreng, mengatakan itu saat kami berkumpul. Sudah lama memang kami sebal dengan rumah itu. Letaknya persis di sisi gerbang masuk perumahan. Bayangkan, bila gerbang itu sebuah hidung yang mancung dan indah, rumah itu seperti kutil  yang nangkring tepat di ujungnya.
Sebenarnya, bila saja rumah itu terawat, tentu tidak terlalu membuat kami jengkel. Tapi rumah itu selalu tampak misterius. Banyak yang percaya rumah itu angker. Ilalang tumbuh liar, temboknya kusam penuh lumut dan kelekap. Tumpukan daun kering yang berserakan di halamannya tak pernah tersapu. Sering orang-orang melihat ular merayap keluar dari sana. Kami membayangkan puluhan kalajengking dan kelabang hidup di bawah batu dan akar pepohonan yang tumbuh rimbun menjulang di halaman rumah itu. Ada pohon sawo kecik tepat di tengah-tengah, terlihat seperti payung gelap dan tua bila malam hari, dan banyak yang percaya pohon sawo kecil itu menjadi tempat tinggal jin dan genderuwo. Bila kami pulang malam hari, mau tak mau kami harus melewati rumah itu, yang selalu tampak gelap. Rumah itu terlihat seperti rumah yang dihuni puluhan hantu. Dan kami selalu merinding melewatinya.
Yang paling bikin kami cemas adalah pohon mangga dan jambu, yang bila musim berbuah, menggoda anak-anak kami untuk mencurinya. Pernah, anak Nyonya Boriska, menyelundup masuk rumah itu, hendak mencuri mangga yang sedang berbuah lebat, dan tiba-tiba menjerit-jerit. Karna panik ia turun dengan gugup dan terjatuh hingga kakinya patah, dan lumpuh hingga kini. Kalau saja saat itu tak keburu datang polisi, beberapa orang sudah akan membakar rumah itu.
Pemilik rumah itu lebih misterius. Kami memanggilnya Nyonya Fallacia. Tak ada yang yakin itu namanya yang sesungguhnya. Ia jarang keluar rumah. Malah boleh dibilang: nyaris tak pernah keluar rumah. Ia hanya sesekali terlihat keluar mengenakan pakaian serba hitam. Bergaun hitam, dengan lilitan kerudung hitam yang menyembunyikan wajahnya. Ia keluar hanya untuk membeli daging untuk puluhan kucing yang dipeliharanya. Ia akan berjalan pelan, menundukkan wajahnya, membawa keranjang rotan, menuju warung yang letaknya di ujung jalan dekat pengkolan pasar. Ia biasanya membeli beberapa kilo daging, ikan asin juga bumbu dapur keperluan memasak. Pemilik warung itu sudah hafal dengan apa yang selalu dibelinya. Hingga ia melayani tanpa banyak suara.
Ada yang mengatakan Nyonya Fallacia pernah menikah lima kali, dan semua suaminya mati secara misterius. Suami pertamanya seorang tentara, kabarnya mati ketika dikirim ke Timor Timur. Suaminya yang kedua kabarnya seorang pejabat yang tinggal di luar kota. Ada yang mengatakan, suami keduanya ini sesungguhnya kawin lagi. Sampai kemudian dikabarkan mati dengan tubuh membusuk di sebuah hotel. Suaminya yang ketiga kabarnya lebih muda. Tapi tak pernah jelas pekerjaannya. Ada yang bilang ia seorang pencoleng. Agak lucu kisah pertemuan Nyonya Fallacia dengan suami ketiganya ini. Kabarnya suatu malam rumah Nyonya Fallacia disantroni perampok. Dan salah satu perampok itu terpesona ketika melihat Nyonya Fallacia tertidur. Ia tak jadi menggoroknya, tapi malah menyetubuhinya. Ketika kawan-kawannya pergi membawa perhiasan milik Nyonya Falacia, perampok itu malah memilih tinggal di rumah Nyonya Fallacia. Dan selama setahun hidup bersama, sampai kemudian tak jelas kabarnya. Ada yang mengatakan lelaki itu kabur karna tak lagi tahan dengan Nyonya Fallacia. Ada yang mengatakan ia kembali jadi perampok dan mati tertembak. Ada juga yang mengatakan lelaki itu mati karna sakit yang aneh, dan mayatnya dikubur di pekarangan belakang rumah itu.
Cerita tentang suami keempat dan kelimanya lebih tak jelas lagi. Yang keempat seorang dukun, kata Nyonya Brigta. Tapi ini dibantah Nyonya Wislah. “Setahu saya, suaminya yang keempat itu tukang jagal. Bekerja di pemotongan hewan. Setiap hari ia menyembelih sapi di tempat penjagalan itu. Namanya Abilawa,” kata Nyonya Wislah. Tapi kami tak terlalu yakin juga, mengingat Nyonya Wislah kami tahu suka mengarang dan berdusta. Dari para penduduk di luar perumahan, kami bahkan mendengar suami ke empat dan kelima Nyonya Falacia itu kembar. Jadi Nonya Falacia menikah dengan orang kembar. Ia menikahi suami keempat dan kelimanya bersamaan. Mana yang benar? Kami benar-benar tak tahu.
Nyonya Fallacia yang misterius membuat kami hanya bisa menduga-duga. Itu malah membuat kami semakin ketakutan dengan sosoknya. Bila melihat Nonya Fallacia keluar rumahnya, kami akan memandanginya dari jauh. Kami takut, tapi juga penasaran. Kelakuan kami jadi seperti anak-anak kecil yang suka mengintip. Pingin tahu apa yang dilakukannya. Kadang ia memang terlihat berdiri lama di pekarangan rumahnya. Memandang ke arah pohon-pohon, dan tangannya tampak menunjuk-nunjuk. Pernah juga kami melihat ia menaburkan entah apa di sekitar pintu. Seperti menaburkan garam, yang dipercaya akan membuat ular tak bisa masuk ke dalam rumah.
Bila di antara kami tak sengaja berpapasan di jalan, maka kami akan buru-buru menghindar. “Jangan sampai kamu menatap matanya, nanti kamu jadi ikutan terkutuk,” begitu yang dipercaya Nyonya Hasmita. Ia kerap menasehati anak perempuannya seperti itu. “Bila kamu menatap matanya, kamu juga akan sengsara. Kamu bisa-bisa tak akan dapat jodoh. Kalau pun kamu kawin, nanti suamimu mati muda. Atau perkawinanmu selalu celaka.” Mungkin Nyonya Hasmita keterlaluan soal itu. Tapi kami juga tak membantahnya. Seorang perempuan, sekali menjanda saja sudah pasti jadi gunjingan. Apalagi bila janda lima kali. Perempuan seperti itu sudah pasti perempan yang hidupnya dipenuhi kutukan.
Apalagi kami juga mendengar kalau Nyonya Fallacia pun menguasai ilmu tenung. Ia bisa berubah menjadi anjing. Seorang peronda pernah bercerita, berkali-kali ia melihat ada binatang yang aneh. Dari rumah yang gelap itu, tengah malam saat berkeliling, peronda itu melihat sesosok binatang mirip anjing, tetapi bertubuh sangat besar seperti harimau. Mata binatang itu kuning kehijauan, seolah menyala. Ia sampai terkencing-kencing ketika binatang itu memandangnya dengan suara mengeram. Ada lagi yang pernah bercerita kalau melihat seekor ular dengan tubuh sebesar manusia keluar dari jendela rumah Nyonya Fallacia. Itu ular jejadian. Ular pesugihan. Dan Nyonya Fallacia hidup dengan pesugihan itu.
Oh ya, yang juga membuat kami kerap jengkel dan sebal pada Nyonya Fallacia adalah kucing-kucingnya. Ia memelihara banyak sekali kucing. Mungkin lebih dari 50 ekor. Kalau ia selalu membeli daging dan ikan asin, itu untuk makan kucing-kucingnya. Tapi namanya saja kucing, tentu saja selalu bikin masalah. Anda tahu sendiri, kalau kucing itu birahi dan kawin. Selalu ribut dan bising. Suaranya yang terus mengeong tengah malam selalu membuat kami blingsatan. Kucing itu berlarian berkejaran di atap rumah, membuah gaduh dan berisik. Kami sering menyiramnya dengan air panas untuk mengusirnya. Sering kucing-kucing itu masuk rumah mencuri ikan asin atau lauk lainnya. Anak-anak kami yang jengkel dengan kucing-kucing itu sering memburu kucing-kucing itu, menyambitnya dengan batu atau potongan kayu. Tak jarang anak-anak kami mengendap-endap mengincar kucing-kucing itu, dan pada saat yang tepat menghantamkan lonjoran besi ketubuh binatang itu. Tentu saja kami kerap melarang, karna bagaimana pun tak baik meyakiti binatang. Tapi itu malah membuat kami kadang bertengkar sendiri.
“Jangan salahkan anak-anak!”
“Tapi kita tak bisa membiarkan anak-anak kita bersikap kejam pada binatang.”
“Namanya juga anak-anak. Kalau mau menyalahkan, salahkan kucing-kucing itu.”
“Lho, kucing kok disalahkan.”
“Habis siapa dong yang harus disalahkan?”
“Ya yang punya kucing itu…”
Dan kami makin tak suka dengan Nyonya Fallacia.
***
Kucing-kucing itulah yang suatu kali membuat saya berurusan dengan Nyonya Fallacia. Entah bagaimana kejadiannya, anak saya yang berumur 12 tahun mengejar kucing itu sampai ke halaman rumah Nyonya Falacia. Ia diikuti kawan-kawan lainnya. Saat itulah mendadak Nyonya Fallacia muncul. Sebagian anak langsung takut, dan lari pulang. Tapi anak saya terus mengejar kucing itu sambil melemparkan sebongkah batu ke arah kucing yang berlari masuk ke dalam rumah. Batu yang dilempar anak saya tak mengenai kucing itu, tapi tepat menghantam kepala Nyonya Fallacia.
Kejadian itu membuat geger. Beberapa orang bilang Nyonya Fallacia sempat meraung kesakitan, suaranya terdengar seperti anjing yang melolong terkena hantaman batu. Tubuhnya terhuyung, sembari tangannya memegangi kepalanya yang mengucurkan darah. Anak saya segera lari pontang-panting.
Saya yang mendengar kabar itu bergegas mencari anak saya. Ia saya temukan gemetar ngumpet di gudang. Saya mencoba memeluknya. Menenangkannya. Ia menangis sesungukkan. Saya mendengar kabar Nyonya Fallacia pergi ke sebuah klinik dan dirawat. Kepalanya retak. Saya bermaksud menjenguknya. Bagaimana pun saya merasa bersalah. Sebagai orang tua, saya ingin meminta maaf atas tindakan anak saya yang membuatnya celaka. Tetapi beberapa tetangga melarang saya. “Tak usah,” kata Nyonya Li. Dan yang lain mendukung. Saya dianggap hanya akan mencari kerepotan dan menambah masalah bila menjenguk Nyonya Fallacia.
Malamnya, saya menceritakan kejadian itu pada suami saya. Dan ia hanya diam saja. Entah kenapa, saya tak bisa menghilangkan perasaan bersalah saya. Ada sesuatu yang mengganggu saya. Yang terus membuat saya gelisah. Mungkin karna itulah, saya mimpi buruk.
Saya melihat Nyonya Falacia berjalan melayang. Di bawahnya seperti ada sungai yang penuh mayat kucing. Terdengar angin menggemuruh, dan meniup dedaunan yang rontok dari sebatang pohon besar. Saya melihat kain hitam yang dikenakan Nyonya Fallacia berkibaran.  Kerudung yang menutupi kepalanya seperti tangan yang terjuntai, dengan ujungnya yang mirip cakar yang akan mencabik-cabik tubuh saya. Ada kabut dan bau aneh yang melintas. Saya sekilas melihat wajah Nyonya Fallacia yang pucat. Seperti wajah orang sekarat. Kelopak matanya cekung dan menghitam. Rahangnya tirus. Ia tersenyum aneh dan membuat saya merinding dan menjerit…
Saya tergeragap bangun. Suami saya mencoba menenangkan saya, mendekap saya erat-erat. Saya menceritakan mimpi itu. Kemudian saya mengatakan kalau saya ingin minta maaf pada Nyonya Fallacia. “Bagaimana pun kita harus menemui Nyonya Fallacia,” kata saya. “Mimpi buruk ini hanyalah awal ketakutan saya yang bisa jadi akan terus-menerus menghantui saya, kalau saya tidak menunjukkan perasaan bersalah saya atas kejadian yang menimpanya.”
Semula suami saya tak mau membahas itu. Berharap saya melupakan. Tapi mimpi itu selalu datang lagi. Malam-malam saya jadi dipenuhi mimpi buruk dan kecemasan.
Akhirnya suami saya mau juga mengantantar saya menemui Nyonya Fallacia.
***
Saya tak melihatnya terkejut ketika Nyonya Fallacia membuka pintu. Cukup lama saya dan suami saya mengetuk pintu. Kami sempat ingin balik, ketika pintu tak kunjung dibuka. Dan saya sendiri mulai ragu dan cemas. Tapi pada saat itulah pintu berderit, dan sosok Nyonya Fallacia muncul dari pintu yang perlahan terbuka. Tubuhnya lebih kurus. Kulit tangannya saya lihat sepucat mayat. Saya sempat bertatapan dengan matanya. Ada kelembutan yang membuat saya berdebar.
Ia seperti sudah menduga kedatangan saya. Ia hanya mengangguk, dan bicara begitu pelan. Saya tak mendengar jelas apa yang dikatakan, tapi dari gerak tubunya saya tahu kalau ia menyuruh kami masuk.
Suasana seram menyergap kami. Ruangan yang kami masuki begitu remang. Nyaris tanpa cahaya lampu. Hanya ada cahaya matahari yang samar masuk dari sebuah jendela dan dari atap yang terlihat menganga. Bau debu membuat udara ruangan terasa tebal di hidung. Ada kursi tua, sebuah meja dari kayu, foto-foto muram dan suram. Semua seperti sebuah masa silam yang disembunyikan dalam kegelapan yang tak pernah ingin disingkap. Dan yang paling menggetarkan adalah kucing-kucing itu. Di ruangan itu penuh dengan kucing berkeliaran. Beberapa ekor kucing terlihat langsung menggesek-gesekkan tubuhnya di kaki Nyonya Fallacia. Ada yang menjilati kakinya yang memakai selop. Ada juga yang berguling-guling di dekatnya. Seekor kucing melompat dan dengan cekatan Nyonya Fallacia menangkapnya. Kucing itu meringkuk manja dalam pelukan Nyonya Fallacia.
Lalu saya menyadari, banyak juga kucing yang hanya diam. Seperti arca bisu menatap saya. Saya tanpa sadar menggenggam bahu suami saya kuat-kuat. Suami saya seperti menyadari ketakutan saya, lalu merapatkan tubuhnya. Saat itulah saya menyadari: kalau kucing-kucing yang sejak tadi diam itu ternyata kucing yang sudah mati.
Nyonya Fallacia seperti menyadari kegugupan saya.
“Ya, kucing-kucing itu memang sudah mati,” suaranya terdengar seperti muncul dari sebuah arah yang gaib. “Saya tak pernah mengubur kucing-kucing saya yang mati. Saya selalu mengawetkannya. Bagi saya, kucing-kucing itu adalah cinta saya. Bagaimana saya bisa mengubur cinta saya?”
Saya hanya diam. Dan makin merapatkan tubuh ke pelukan suami saya. Bahkan saya dan suami saya hanya terus berdiri ketika Nyonya Falacia mempersilakan kami duduk.
“Suami saya menyukai kucing. Saya yakin, kalian pasti banyak mendengar tentang suami saya. Atau seperti yang sering diceritakan orang: suami-suami saya.” Ia tertawa, terdengar getir. “Mereka pasti bilang saya kawin berkali-kali. Apakah kalian akan mempercayai saya, kalau semua gosip itu tidak benar? Saya hanya mencintai seorang laki-laki. Dan itu suami saya. Suami saya suka sekali kucing. Bagi saya, kucing-kucing ini seperti menghubungkan cinta saya dengan suami saya yang sudah mati…”
Waktu seperti merambat pelan. Suara jarum jam di dinding terdengar begitu jelas dalam keheningan yang panjang. Kami hanya diam sepanjang pertemuan yang singkat tapi terasa bagai berabad-abad. Ketika kami akhirnya pamit, ada yang terasa lega. Saya tak tahu, kenapa saya bisa merasa lega.
Tapi setidaknya, kini saya punya pandangan berbeda tentang Nyonya Falacia.
Read More

KAKAK BERADIK yang SALING PEDULI

02.14 | , ,

 
Membantu sesama—apalagi saudara—pasti akan membawa keberkahan. Ditambah dengan ketulusan, kita pun akan selalu mendapatkan “bantuan” dalam berbagai wujud kebaikan.

Di sebuah desa kecil, tinggal dua orang kakak beradik yang hidup berdampingan dengan rukun dan bahagia. Untuk menghidupi diri, mereka saling bantu menanami satu-satunya ladang yang ditinggalkan sebagai warisan terakhir orangtuanya. Dengan penuh ketelatenan, mereka selalu mendapatkan hasil yang dibagi rata satu sama lain.

Tahun demi tahun berlalu. Hingga, suatu kali, sang kakak menikah dengan perempuan dari desa sebelah. Bahu-membahu, mereka menjadi keluarga kecil yang sangat bahagia. Mereka tetap saling bantu di ladang. Istri sang kakak juga selalu membawakan makanan dan minuman untuk kedua bersaudara itu. Sementara, untuk hasil panen, mereka tetap membagi rata untuk kedua kakak beradik itu.

Suatu hari, di sebuah malam, si adik merenung. Ia berpikir, rasanya kurang adil jika mereka sama-sama punya jatah yang rata, padahal sang kakak sudah punya tanggungan keluarga. Sementara, dirinya baru hidup seorang diri di rumah yang kecil pula. Karena itu, ketika malam semakin larut, ia diam-diam membawa satu karung hasil panen yang menjadi jatahnya untuk dibawa ke rumah kakaknya. Begitu seterusnya setiap kali panen. Selalu saja ia membawa satu karung untuk diberikan secara diam-diam ke rumah kakaknya.

Bulan demi bulan berlalu. Hal itu terus dilakukan sang adik. Tapi anehnya, setiap kali memberikan satu kantong hasil panen, cadangan hasil panen di rumahnya tak pernah berkurang. Itu baru disadarinya setelah beberapa waktu berlalu.

Suatu malam, saat hendak kembali mengirimkan satu karung panen, sang adik berinisiatif mengambil jalan yang berbeda dari jalan biasanya. Tanpa dinyana, di sebuah jalan sempit, ia berpapasan dengan sosok yang juga sedang membawa karung. Hampir saja ia mengira itu adalah orang yang hendak mencuri hasil panen di rumah kakaknya. Namun, setelah lebih dekat, yang dijumpai ternyata justru sang kakak sendiri.

Mereka pun saling terpana, kaget melihat saudaranya satu sama lain sedang mengangkat karung hasil panen.

“Dik, apa yang kamu lakukan malam-malam begini?”
“Kakak sendiri sedang apa?” balas sang adik.

Setengah terbata, sang kakak bercerita. “Dik, aku sebenarnya merasa tidak enak dengan kamu. Setiap kali kamu pasti selalu membantu kakak di ladang. Kamu bekerja dengan sangat keras. Rasanya tak adil jika hasil panen ini kakak bagi rata denganmu. Sebab, aku hidup berdua. Sudah ada yang melayani aku sepanjang hari sehingga aku pasti tak akan selelah kamu yang hidup sendiri. Karena itu, aku memutuskan untuk membawa satu karung panen ini untuk aku berikan kepadamu. Aku harap, dengan kantong panen yang lebih banyak, kamu bisa hidup lebih enak dan bisa pula menata hidup lebih baik,” terang sang kakak. “Kamu sendiri, apa yang kamu lakukan malam-malam begini?”

“Kak, rupanya kita punya pikiran yang hampir sama. Kakak kasihan melihat aku, sedangkan aku juga kasihan melihat kakak dan istri kakak. Harusnya kakak memang menerima lebih banyak karena sudah ada tanggungan lebih banyak daripada aku. Karena itu, tiap panen, aku selalu membawakan satu kantong untuk kuberikan di lumbungmu.”

Rupanya, kedua kakak beradik itu tak henti saling menyayangi. Pengorbanan mereka untuk saudaranya, ternyata langsung berbalas kebaikan pula. Karena itulah, meski dikurangi kantongnya setiap kali panen, jumlahnya selalu tetap karena satu sama lain saling memberi.

Melihat hal itu, mereka pun saling berpelukan, menangis haru. Ternyata, persaudaraan mereka sangat tulus sehingga bisa terus saling mendukung dan membantu satu sama lain.

Pembaca yang bijaksana,

Kisah kakak beradik tadi setidaknya bisa kita maknai dengan dua hal. Pertama, rasa kasih sayang yang tulus dan ikhlas akan selalu membawa kebaikan dan kebahagiaan bersama. Meski sudah terpisah dari orangtua, kedua bersaudara tadi selalu komitmen untuk membantu sama lain. Warisan yang diberikan orangtua pun menjadi warisan yang benar-benar bermanfaat. Dengan kondisi tersebut, keduanya akan selalu memetik manfaat yang maksimal dari kebersamaan mereka. Berkaca dari kisah itu, sudah selayaknya kita juga selalu memupuk semangat persaudaraan. Bukan hanya dengan saudara sedarah, tapi juga dengan orang-orang terdekat. Dengan saling mengasihi dan menyayangi, maka kita akan mendapatkan harmonisasi kehidupan yang bisa membawa kita pada kebahagiaan.

Hal kedua yang bisa kita maknai dalam kisah tersebut adalah bahwa sikap mau memberi, akan mendatangkan keberkahan. Memberi tak akan membuat kita kurang. Malah—entah dari mana—rezeki kita akan tetap berlimpah. Kisah kedua bersaudara itu mencerminkan kondisi bahwa pemberian yang dilandasi dengan niat tulus ikhlas, akan berbuah kebaikan juga bagi mereka. Begitu juga dengan kita. Tak akan kekurangan orang yang mau berbagi dengan sesamanya.

Mari, kita kembangkan sikap saling menghargai, saling dukung, saling tolong, antara sesama dan sekitar kita. Jadikan setiap rezeki yang dimiliki menjadi sesuatu yang bisa membawa kebaikan bersama. Dengan itu semua, kedamaian dan kebahagiaan sejati, akan jadi milik kita.
Read More

ANTARA CINTA dan SAHABAT

02.05 | ,

Hidup akan indah bila kita masih memiliki seseorang yang kita sayangi, seperti via, via masih memiliki orang tua yang sayang dengannya dan saudara laki-lakinya yang sangat menggemaskan yang masih kelas 4 SD. Serta tak luput mempunyai seorang sahabat yang baik yang selalu bersama ketika dia duka, lara pun senang. Via mempunyai sahabat dia bernama Mia dan Rahma. Kemana-mana kami selalu bersama seperti layaknya besi dan magnet yang sulit dipisahkan. Mereka pertama kenal ketika pertama MOS dan memulai sekolah di SMA, Ketika itu Rahma duduk sendirian dan tak sengaja Via menghampirinya dan berkenalan. Setelah mereka berbincang-bincang cukup lama datanglah seorang anak perempuan cantik putih bertahi lalat di bawah bibir yang tipis. Tahi lalatnya itu membuat wajahnya menjadi manis dan disegani oleh kaum Adam.


Cerpen Antara Cinta dan Sahabat
“Hai…. Rahma dah lama nunggunya yah???” kata perempuan itu
“Ea… lama banget, kamu dari mana saja???? kata Rahma
“Oa,untungnya ada Via yang menemani aku di sini, Mi kenalin ini Via teman sekelas kita juga lho. Oya vi kenalin ini teman satu bangku aku namanya Mia” kata Rahma sambil memperkenalkan temannya.
“Kenalin aku Via, aku duduknya di samping tembok dekat pintu sama Ovie” kata Via memperkenalkan dirinya kepada Mia.
“Aku Mia, low boleh tau lo tinggalnya dimana”?? Tanya Mia kepada Via.
“Aku aslinya Banjarharjo, tapi di sini aku ngekost” jawab Via.
“Kapan-kapan kita main ke kostnya Via, Gimana,?? Rahma lo juga ikut yach”?? Mia melontarkan pertanyaan kepada Rahma.
“Itu ide yang bagus kita selalu kumpul-kumpul bareng di kosannya Via, Gimana kalau kita buat genk saja?” usul Rahma.
“Aku setuju dengan pendapatmu. Nanti kita buat kaos yang sama, tapi dipikir-pikir nama genk nya apa yach”?? Mia menggaruk-garuk kepala yang tidak gatal karena begitu bingungnya.
“Tapi maaf teman-teman bukannya gw menolak, tapi aku bener-bener gak setuju dengan pendapat kalian, aku ingin bersahabat dengan kalian. Tapi aku gak suka buat genk-genk seperti itu, takutnya kalau kita buat genk, banyak teman-teman yang benci dan iri.” jelas Via.
“Yah Vi, tapi……….”
Sebelum Mia melanjutkan pembicaraannya bel sekolah pun berbunyi tanda peserta MOS kumpul di halaman sekolah untuk diberikan arahan dan himbauan dari kepala sekolah.
Sungguh ribet dan susah kembali menjadi peserta MOS harus menggunakan kostum planet yang sungguh menyebalkan itu seperti pake kaos kaki yang berbeda,tasnya menggunakan kantong kresek,rambutnya di ikat lebih dari 10 buah,sungguh membosankan dan menyebalkan ketika dimoment-moment MOS seperti ini.
Setelah kumpul di lapangan Rahma dan Mia senyum-senyum sendiri, dan aku bingung kenapa mereka senyum-senyum tanpa sebab. Adakah sumbernya kenapa mereka senyum-senyum sendiri. Setelah aku perhatikan ternyata mereka tersenyum ketika melihat kakak Osis. Dan kemudian aku bertanya kepada Rahma,”Rah, kamu dan Mia senyum kenapa??” Tanya Via dengan penasaran.
“Asal kamu tau aja ya Vi, aku dan Mia itu ngefans banget sama anak kelas X-2 itu, terus gw jatuh cinta sama cowok itu katanya sih namanya Dana”. jawab Rahma.
“Yang mana?” Tanyaku lagi.
“Itu yang paling cakep sendiri, Oa aku juga ngefens banget ama kakak OSIS jangan bilang sama Mia yach kalo aku ngasih tau ke kamu, aku itu ngefans banget sama Ka’ Zaenal sedangkan Mia ngefens sama ka’ Adit”. jelas Rahma.
“okey, tenang saja Rahma gw pasti gw bisa jaga rahasia ini kok, dijamin gak bakal bocor dech…….” kataku.
“Aku percaya kok sama kamu….. halah kaya ember saja bocor… . hehehehe”. Rahma sambil ketawa
Ketika asyik berbicara ternyata banyak pengarahan yang diberikan oleh kepala sekolah, sungguh menyesal sekali ku ini tidak mendengarkannya. Padahal banyak manfaatnya bagi kita khususnya bagi pelajar. Setelah beberapa lama kemudian peserta MOS di bubarkan.
Via sedang berfikir sepertinya enak sekali rasanya ketika menjadi anak SMA. Sama seperti yang Via rasakan saat ini Via ingin cepat-cepat menggunakan baju putih abu-abu dan agar cepat diresmikan menjadi murid SMA, rasanya lama sekali menunggunya waktu seperti itu. Apalagi, rumahnya sangat jauh dari sekolah sungguh enaknya jauh dari orang tua dan bebas untuk pergi-pergi kemanapun yang kita inginkan bersama teman-teman barunya. Tapi Via harus bisa mengendalikan diri dari pergaulan di zaman edan seperti ini, kalau kita mengikutinya maka kita akan masuk ke dalam jurang neraka yang isinya orang-orang berdosa.
Kicauan burung menari-nari di angkasa, Sungguh indah bila ketika memandangnya. Embun pagi menyejukan hati Semerbak wangi mawar membuat segar perasaan kita. Indahya alam ciptaan tuhan yang maha esa, Tak ada yang bisa menandinginya,Karena tuhan adalah sang kholik pencipta alam semesta.
Ricuhan murid-murid SMA bagaikan burung-burung yang sedang menyanyi-nyanyi. Murid-murid mulai berdatangan menuju sekolah untuk menuntut ilmu, walaupun ada yang niat sekolah hanya ingin mendapatkan uang jajan dan ingin memiliki banyak teman. Murid-murid berdatangan ada yang naik motor, sepeda, naik bus mini, angkot, diantar orang tuanya menggunakan mobil, adapun jalan kaki.
Bel istirahat pun berbunyi, murid-murid bagaikan pasukan burung yang keluar dari sangkarnya menuju kantin gaul bu ijah. Perut mereka terjadi perang dunia ketiga mereka berebut makanan dan cepat-cepat mendahulukan mengambil makanan.
Aku tak nafsu untuk pergi ke kantin dan aku beranikan diri pergi ke perpustakaan.Setelah lamanya aku diperpustakaan datanglah seorang cowok ganteng yang diidam-idamakan oleh Rahma sahabatku sendiri.
“Hai…….vi kok sendirian saja disini.” kata cowok itu yang bernama Dana.
“Yah…. teman-teman aku lagi ke kantin, padahal aku diajak kekantin sama mereka, tapi aku pengennya pergi ke perpustakaan……. hehehe” kataku pada Dana.
“Oa…… kamu les di Prima Eta yach??” Tanya Dana.
“Eah…..kok kamu tau sich…” jawabku.
“Kan aku juga les disitu,terus gw juga sering merhatikan kamu lho!!” kata Dana.
“Memang kamu kelas X apa?, kok gw gak pernah lihat kamu?”
“Ruang X-B. oa,kamu ruang X-A ya?”
“yapz……….”
Aku tak ingin dekat-dekat dengan Dana, Tapi aku juga punya perasaan sama Dana aku bingung kalau aku berdekatan sama Dana nanti Rahma cemburu. Kemudian ku pamit sama Dana.
“Dan aku mau ke kelas dulu” kataku pada Dana.
“Owg…..eah Vi silahkan”
“Mi,aku boleh nanya sesuatu kepadamu gak?” tak sengaja air mataku membanjiri wajahku yang lembut ini.
“Nanya tentang apa?”
“Tadi aku ketemu Rahma, aku nyapa dia, Tapi dia cuek, malah dia bersikap sinis kepadaku, Apa salahku Mi”.
“Apa benar tadi kamu janjian sama Dana di perpustakaan, kok kamu bisa ngehianatin sahabat sendiri sich”.
“Mi, tadi itu, aku gak sengaja ketemu Dana di perpustakaan, sumpah aku sebelumnya gak janjian, tolong bantuin aku, untuk jelasin ke Rahma Mi.”Aku memohon ke Mia agar dia bisa bantuin aku untuk jelasin ke Rahma.
“yach udah….gimana kalau pulang sekolah gw temuin kalian berdua”
“Terserah kamu Mi, yang penting Rahma tidak salah paham sama gw”
“Rah, plis dengar penjelasan aku, aku gak ada hubungan apa-apa sama Dana, mana mungkin aku ngehianatin sahabat sendiri.”
“terus kenapa tadi kalian berdua ketemuan di perpustakaan.” Tanya Rahma.
“Aku gak sengaja ketemu di perpustakaan Rah, kalau kamu masih gak percaya, gimana kalau kamu nanya langsung sama Dananya?”
“owg………..yach dech aku sekarang percaya kok sama kamu, masa aku percaya sama orang lain daripada sahabat sendiri, maafin aku juga yach Vi,,”.
“Memangnya tadi siapa yang bilang sama kamu”.
“Sudah, gak usah dibahas, gak penting”.
Aku bingung kenapa Rahma langsung maafin aku, padahal aku baru sebentar jelasin kapada Rahma. leganya perasaanku ini.
“Makasih Rah”.
Kemudian kami pun saling berpelukan rasanya senang banget ketika kami baikan kembali. Setelah pulang sekolah, Aku seperti biasa membuka kembali buku pelajaran. Setelah ku membuka buku, tak sengaja ku temukan secarik kertas yang beramplop. Ku buka perlahan-lahan, tapi kenapa jantungku ikut berdetak lebih kencang. Kubaca perlahan-lahan.
Dear Via…. 

Izinkan aku untuk berkata jujur padamu, Sebelumnya ku minta maaf kalau aku sudah lancang mengirim surat ini. Aku sadar, aku bukan apa-apanya kamu. Aku juga tak pantas memilikimu. Tapi semakin ku pendam perasaan itu, semakin sesak rasanya dadaku ini kalau tak segera ditumpahkan.
Aku belum pernah merasakan perasaan seperti ini sebelumnya. Tapi tiap kali aku ingin melepaskan diri darimu, Tapi tiap kali itu aku ingin semakin kuat untuk memelukmu. Dan aku merasa heran mengapa perasaan ini hanya terjadi padamu, mengapa tak tumbuh pada gasdis-gadis yang lain, Bagi anak-anak lain mungkin menilainya, Mereka lebih cantik darimu?
Tetapi ini perasaanku, Aku justru suka padamu tak hanya karena kecantikanmu, Tapi juga karena innerbeauty mu sungguh menarik bagiku. Aku tak ragu lagi memilih gadis semacam kamu. Kamu ini memang tak ada duanya di dunia ini. Sudah beberapa lama ku pendam perasaan ini tapi baru kali ini ku beranikan diri utuk menyatakan kalau aku “CINTA dan SAYANG”sama kamu. Maafkan aku kalau aku tak gentel seperti anak laki-laki lain yang mengutarakan langsung di depan wajah dan bertemu langsung empat mata. 
Tapi kalau kau mau agar aku langsung mengutarakannya aku akan mencoba, besok kita ketemu pulang sekolah di kelas X-9.
Orang yang mencintaimu
Adytia Pradana Putra

  
“Maaf yach aku berangkatnya siang, soalnya bangunnya kesiangan… hehehe” jawab Perempuan yang berbicara dengan Rahma sambil tersenyum.

Bel sekolah pun berbunyi sebagai tanda waktu pelajaran dimulai. Murid-murid dengan tenang belajar di sekolah. Hening sepi keadaan di sekolah bagaikan tak berhunikan makluk, Seperti di hutan sepi sunyi.

Kemudian aku menuju ke kelas, sebelum masuk ke kelas, di jalan aku ketemu Rahma. Aku menyapa Rahma dengan senyuman. Tapi apa yang Rahma kasih padaku, Rahma bersikap sinis. Aku bingung kenapa Rahma bersikap seperti ini kepadaku, Kemudian aku mencari Mia. Aku ingin menanyakan kepada Mia. Tentang sikap Rahma kepadaku. Setelah kutemukan Mia, ku langsung menanyakan kepada Mia.

Kemudian setelah pulang gw nungguin Mia dan Rahma di kantin gaul,setelah beberapa lama aku nungguin munculah mereka dari balik kelas.setelah aku melihat Rahma.Aku langsung peluk Rahma dan aku teteskan air mataku.kemudian aku memohon-mohon agar Rahma mempercayai penjelasin yang diberikan oleh aku padanya.

Aku bingung,Aku tak tau harus berbuat apa. Aku bingung memilih salah satu ini CINTA atau SAHABAT. Kata-kata itu selalu menggoyang-goyang pikiranku. Aku punya persaan sama Dana dan aku juga gak mau menyakiti perasaan sahabatku. Kenapa bisa terjadi pada aku, kenapa tidak Mia??? Bukanya aku iri pada Mia, tapi karena perasaan bingung ini jadinya aku tak sadar menyalahkan Mia.... ya tuhan tolonglah diriku ini, aku harus berbuat apa?.
Kemudian aku berfikir, aku sudah janji hidup dan matiku akan ku pertaruhkan demi sahabatku yang ku sayang. Aku relakan Dana untuk sahabatku Rahma. Aku tak ingn melihat sahabatku sedih.

Aku sudah punya keputusan, aku gak akan terima Dana jadi pacarku, Tapi aku akan bersujud di depan Dana dan bermohon-mohon agar Dana mau jadi pacarnya Rahma. 

* * * * * * SEKIAN * * * * * * * *

cinta yang sebenarnya adalah ketika kamu menitikkan air mata dan masih peduli terhadapnya....cinta yang sebenarnya adalah ketika dia tidak mempedulikanmu dan kamu masih tetap menunggunya dengan setia....
cinta yang sebenarnya adalah ketika dia mulai mencintai orang lain dan kamu masih bisa tersenyum dan berkata "aku turut berbahagia untukmu wahai SAHABATKU"
Read More