MEMOTIVASI DAN TERUS MENCARI JATI DIRI

BOLA, BULAT, BUNDAR dan BANYOLAN

02.19 | , ,

Sepak bola merupakan produk kebudayaan manusia yang paling konyol! Barangkali, itulah sebabnya Butet “Sarimin” Kartaredjasa tidak menyukainya. “Saya ndak pernah bisa memahami, bagaimana mungkin ada 22 orang mau berlarian kesana-kesana kemari saling jegal rebutan bola? Itu kan absurd. Beri saja masing-masing satu bola, pasti ndak lagi rebutan. Lagi pula, dari pada rebutan bola, kan mendingan seperti para politikus kita yang dengan gigih rebutan kursi kekuasaan…” Tentu saja, itu kelakar khas si Raja Monolog itu.
Tapi kelakar itu membuat saya jadi memahami: betapa memang ada perspektif komedis dari bola. Disamping bulat dan bundar, bola ternyata penuh banyolan juga. Ketika sepak bola dari waktu ke waktu makin industrialis dan dikembangkan pada pada tingkat yang makin menghibur dan sempurna melalui pola permainan eksplosif semacam total football atau ekspresif sebagaimana para pemain Brasil menarikan samba-bolanya, maka selalu saja ada kelucuan-kelucuan, yang membuatnya makin “manusiawi”. Tapi, tentu saja, ada tingkat-tingkat kelucuan, yang membuat sesuatu kemudian menjadi memiliki nilai, atau cuman membersitkan banyolan konyol.
Seorang kawan membawa kabar yang cukup mengagetkan: bahwa Nurdin Halid, Ketua PSSI, yang kini mendekam di penjara, terpilih menjadi ketua FIFA. Dalam sidang tahunan di Wina yang di hadiri 153 wakil dari seluruh anggota FIFA, Nurdin Halid memenangkan pemilihan jabatan ketua FIFA secara mutlak. 150 delegasi mendukungnya, hanya 2 wakil yang menolak, dan 1 abstain. Tentu kabar ini menggembirakan bagi persepakbolaan Indonesia. Tetapi, usut punya usut, seorang doktor psikologi dari Denmark akhirnya bisa menjelaskan kenapa Nurdin Halid bisa terpilih. “Ternyata para wakil delegasi dari seluruh dunia itu mendadak terjangkiti apa yang disebut sebagai ‘syndrome pengurus PSSI’. Sindrom inilah membuat mereka menjadi buta, tuli dan bisu. Persis seperti para pengurus PSSI saat ini…”
Kalau ini adalah perspektif kelucuan sepakbola kita, sudah pasti itu banyolan yang hanya membersitkan kegetiran.
Ada lagi satu banyolan tentang kesebelasan PSSI kita tercinta, yang bertanding melawan tim nasional Jerman. “Kesebalasan kita berhasil mencetak 7 gol!” kata temen saya. Hebat. Luar biasa, saya terkagum-kagum. “Maksud saya, mencetak 7 gol ke gawang sendiri…” lanjut kawan saya sambil nyengir. Para pemain kita, tentu saja punya “banyak alasan” kenapa mereka tak pernah menang, apalai bila main di kandang.
Seorang teman saya yang lain mencoba menjelaskan soal tradisi kalah melulu itu. “Bila bahasa menunjukkan bangsa, maka sepakbola sebenarnya merefleksikan mentalitas bangsa. Nah, sebagai bangsa, kita adalah bangsa yang ramah dan selalu menghormati para tamu yang datang. Lah, kalau kesebelasan asing yang datang ke sini kita kalahkan, kan nanti kita bisa dicap sebagai bangsa yang tidak menghormati tamunya. Nanti mereka nggak mau lagi datang ke Indonesia. Kan bisa berabe. Bisa dianggap tidak mendukung program Visit Indonesia dari Kementrian Pariwisata.”
Saya mesem, dan ingat pada kesebelasan Arab, yang sulit menang bila bertanding di tingkat Piala Dunia: karena bagi orang Arab, tidak apa-apa kalah di dunia, asal dapat kemenangan di akhirat nanti.
Anda, pasti, bisa menambahkan banyak lagi lelucon seputar sepak bola. Semua itu, sesungguhnya merupakan salah satu cara bagi kita untuk makin mencintai dan memahami sepak bola. Lelucon adalah sebuah cara pandang yang bisa melihat suatu persoalan secara berbeda. Kemampuan untuk melihat bahwa ada sesuatu yang telah terjadi tidak sebagaimana mestinya. Makanya, filsuf Schopenhauer mengatakan, “orang tersenyum karena melihat sebuah kenyataan yang tak sesuai dengan kenyataan yang seharusnya.” Orang tertawa karena melihat paradoks. Dan kita tahu, dalam sepak bola pun begitu banyak paradoks. Paradoks itu bisa mewujud dalam tragedi, seperti ketika Pablo Escobar, pemain Kolombia yang menlakukan gol bunuh diri, ditembak oleh pendukungnya sendiri. Paradoks itu bisa pula berupa tamparan ironis sebagaimana diperlihatkan oleh para pengurus PSSI yang begitu gigih dan dengan semangat ‘45 membela ketuanya yang sudah dengan sah dan meyakinkan secara hukum telah divonis penjara.
Setiap lelucon, pada akhirnya memang tidak berhenti hanya pada kekonyolan. Karena sebagaimana diyakini Gene Perret, setiap lelucon memang merefleksikan kebenaran. Para tiran tidak menyukai lelucon, karena mereka memang takut pada kebenaran (yang terkandung dalam lelucon-lelucon itu). Pada tingkat ini, melihat sepak bola dengan perspektif humor pada akhirnya menjadi cara untuk melawan kultur yang “tertutup”, anti dialog, dan mau menang sendiri. Benarlah apa yang dikatakan Michail Bachtin, “budaya tertawa itu sehat dan perlu buat kultur yang sumpek dan kaku.” Masyarakat yang tidak memiliki budaya tertawa, ibaratnya masyarakat yang dalam istilah Latin diungkapkan sebagai coligo in sole (melek tapi tidak melihat).
Jadi, yang penting bukan “ketawa”-nya itu, tetapi lebih ada “budaya ketawa”. Jadi, kalau memakai jargon Orde Baru, marilah mulai sekarang kita meningkatkan budaya ketawa yang adil dan beradab sesuai dengan Pancasila dan UUD ’45 (yang sekarang ini sudah diamandemen berkali-kali), bukan UUD Ujung-Ujungnya Duit seperti dinyanykan Slank. Budaya ketawa bisa dilihat dari kualitas dan jenis folklor atau anekdot yang berkembang dimasyarakat, dan bagaimana kemudian masyarakat menjadikan bahan-bahan tertawaan itu tidak hanya digunakan untuk menghibur diri, tetapi yang lebih penting ialah untuk merefleksikan diri. Itulah kualitas sense of humour yang diperlukan ketika kita begitu hiruk pikuk menikmati tontonan bola. Tanpa itu, barangkali kita nanti akan menyesali: betapa kita dari tahun ke tahun, dari event bola ke event bola lainnya, ternyata kita hanya menjadi “penonton sepak bola abadi”, yang hanya menempatkan bola sebagai hiburan, tetapi tidak pernah merasa tercerahkan.
Dengan sense of humour kita bisa “menghibur diri”: biarlah, kita (sebagai bangsa) tidak pernah merasakan kegairahan dan kegembiraan menjadi pemain yang terlibat langsung dalam perhelatan akbar bola, semacam Piala Dunia. Kita sepertinya memang terus menerus “dikutuk jadi penonton” yang dengan suka rela begadang di depan televisi. Tapi setidaknya kita bisa menjadi penonton yang mampu memetik inspirasi dari pertandingan-pertandingan yang kita tonton itu. Lantaran, apa boleh buat, kita memang tidak pernah mendapatkan inspirasi yang baik dalam bentuk apapun dari kelakuan para pemimpin kita yang kita tonton tiap hari.
Dengan sense of humour kita belajar memahami persepakbolaan kita yang makin terasa konyol. Tapi dengan sense of humour itu pula kita tetap berusaha tidak kehilangan kewarasan dan kecerdasannya. Dengan begitu, sepak bola bisa menjadi alternatif wacana yang memperkaya penghayatan kita pada hidup yang tambah sumpek ini. Bola yang bundar sering dimetaforakan sebagai nasib yang tak gampang diduga. Dan nasib, memang, seringkali konyol. Tapi setidaknya kita bisa berharap, dengan menonton bola, kita tidak sedang menyaksikan nasib kita sendiri yang ditendang ke sana kemari.

0 komentar:

Posting Komentar