MEMOTIVASI DAN TERUS MENCARI JATI DIRI

Ny. Fallacia

02.17 | ,


NYONYA FALLACIA
Cerpen Agus Noor
Rumah itu seperti kutil di wajah cantik. Menyebalkan, dan ingin secepat mungkin membuangnya. “Bila rumah itu di singkirkan, maka gerbang perumahan kita akan terlihat bersih,” Nyonya Li, dengan suaranya yang cempreng, mengatakan itu saat kami berkumpul. Sudah lama memang kami sebal dengan rumah itu. Letaknya persis di sisi gerbang masuk perumahan. Bayangkan, bila gerbang itu sebuah hidung yang mancung dan indah, rumah itu seperti kutil  yang nangkring tepat di ujungnya.
Sebenarnya, bila saja rumah itu terawat, tentu tidak terlalu membuat kami jengkel. Tapi rumah itu selalu tampak misterius. Banyak yang percaya rumah itu angker. Ilalang tumbuh liar, temboknya kusam penuh lumut dan kelekap. Tumpukan daun kering yang berserakan di halamannya tak pernah tersapu. Sering orang-orang melihat ular merayap keluar dari sana. Kami membayangkan puluhan kalajengking dan kelabang hidup di bawah batu dan akar pepohonan yang tumbuh rimbun menjulang di halaman rumah itu. Ada pohon sawo kecik tepat di tengah-tengah, terlihat seperti payung gelap dan tua bila malam hari, dan banyak yang percaya pohon sawo kecil itu menjadi tempat tinggal jin dan genderuwo. Bila kami pulang malam hari, mau tak mau kami harus melewati rumah itu, yang selalu tampak gelap. Rumah itu terlihat seperti rumah yang dihuni puluhan hantu. Dan kami selalu merinding melewatinya.
Yang paling bikin kami cemas adalah pohon mangga dan jambu, yang bila musim berbuah, menggoda anak-anak kami untuk mencurinya. Pernah, anak Nyonya Boriska, menyelundup masuk rumah itu, hendak mencuri mangga yang sedang berbuah lebat, dan tiba-tiba menjerit-jerit. Karna panik ia turun dengan gugup dan terjatuh hingga kakinya patah, dan lumpuh hingga kini. Kalau saja saat itu tak keburu datang polisi, beberapa orang sudah akan membakar rumah itu.
Pemilik rumah itu lebih misterius. Kami memanggilnya Nyonya Fallacia. Tak ada yang yakin itu namanya yang sesungguhnya. Ia jarang keluar rumah. Malah boleh dibilang: nyaris tak pernah keluar rumah. Ia hanya sesekali terlihat keluar mengenakan pakaian serba hitam. Bergaun hitam, dengan lilitan kerudung hitam yang menyembunyikan wajahnya. Ia keluar hanya untuk membeli daging untuk puluhan kucing yang dipeliharanya. Ia akan berjalan pelan, menundukkan wajahnya, membawa keranjang rotan, menuju warung yang letaknya di ujung jalan dekat pengkolan pasar. Ia biasanya membeli beberapa kilo daging, ikan asin juga bumbu dapur keperluan memasak. Pemilik warung itu sudah hafal dengan apa yang selalu dibelinya. Hingga ia melayani tanpa banyak suara.
Ada yang mengatakan Nyonya Fallacia pernah menikah lima kali, dan semua suaminya mati secara misterius. Suami pertamanya seorang tentara, kabarnya mati ketika dikirim ke Timor Timur. Suaminya yang kedua kabarnya seorang pejabat yang tinggal di luar kota. Ada yang mengatakan, suami keduanya ini sesungguhnya kawin lagi. Sampai kemudian dikabarkan mati dengan tubuh membusuk di sebuah hotel. Suaminya yang ketiga kabarnya lebih muda. Tapi tak pernah jelas pekerjaannya. Ada yang bilang ia seorang pencoleng. Agak lucu kisah pertemuan Nyonya Fallacia dengan suami ketiganya ini. Kabarnya suatu malam rumah Nyonya Fallacia disantroni perampok. Dan salah satu perampok itu terpesona ketika melihat Nyonya Fallacia tertidur. Ia tak jadi menggoroknya, tapi malah menyetubuhinya. Ketika kawan-kawannya pergi membawa perhiasan milik Nyonya Falacia, perampok itu malah memilih tinggal di rumah Nyonya Fallacia. Dan selama setahun hidup bersama, sampai kemudian tak jelas kabarnya. Ada yang mengatakan lelaki itu kabur karna tak lagi tahan dengan Nyonya Fallacia. Ada yang mengatakan ia kembali jadi perampok dan mati tertembak. Ada juga yang mengatakan lelaki itu mati karna sakit yang aneh, dan mayatnya dikubur di pekarangan belakang rumah itu.
Cerita tentang suami keempat dan kelimanya lebih tak jelas lagi. Yang keempat seorang dukun, kata Nyonya Brigta. Tapi ini dibantah Nyonya Wislah. “Setahu saya, suaminya yang keempat itu tukang jagal. Bekerja di pemotongan hewan. Setiap hari ia menyembelih sapi di tempat penjagalan itu. Namanya Abilawa,” kata Nyonya Wislah. Tapi kami tak terlalu yakin juga, mengingat Nyonya Wislah kami tahu suka mengarang dan berdusta. Dari para penduduk di luar perumahan, kami bahkan mendengar suami ke empat dan kelima Nyonya Falacia itu kembar. Jadi Nonya Falacia menikah dengan orang kembar. Ia menikahi suami keempat dan kelimanya bersamaan. Mana yang benar? Kami benar-benar tak tahu.
Nyonya Fallacia yang misterius membuat kami hanya bisa menduga-duga. Itu malah membuat kami semakin ketakutan dengan sosoknya. Bila melihat Nonya Fallacia keluar rumahnya, kami akan memandanginya dari jauh. Kami takut, tapi juga penasaran. Kelakuan kami jadi seperti anak-anak kecil yang suka mengintip. Pingin tahu apa yang dilakukannya. Kadang ia memang terlihat berdiri lama di pekarangan rumahnya. Memandang ke arah pohon-pohon, dan tangannya tampak menunjuk-nunjuk. Pernah juga kami melihat ia menaburkan entah apa di sekitar pintu. Seperti menaburkan garam, yang dipercaya akan membuat ular tak bisa masuk ke dalam rumah.
Bila di antara kami tak sengaja berpapasan di jalan, maka kami akan buru-buru menghindar. “Jangan sampai kamu menatap matanya, nanti kamu jadi ikutan terkutuk,” begitu yang dipercaya Nyonya Hasmita. Ia kerap menasehati anak perempuannya seperti itu. “Bila kamu menatap matanya, kamu juga akan sengsara. Kamu bisa-bisa tak akan dapat jodoh. Kalau pun kamu kawin, nanti suamimu mati muda. Atau perkawinanmu selalu celaka.” Mungkin Nyonya Hasmita keterlaluan soal itu. Tapi kami juga tak membantahnya. Seorang perempuan, sekali menjanda saja sudah pasti jadi gunjingan. Apalagi bila janda lima kali. Perempuan seperti itu sudah pasti perempan yang hidupnya dipenuhi kutukan.
Apalagi kami juga mendengar kalau Nyonya Fallacia pun menguasai ilmu tenung. Ia bisa berubah menjadi anjing. Seorang peronda pernah bercerita, berkali-kali ia melihat ada binatang yang aneh. Dari rumah yang gelap itu, tengah malam saat berkeliling, peronda itu melihat sesosok binatang mirip anjing, tetapi bertubuh sangat besar seperti harimau. Mata binatang itu kuning kehijauan, seolah menyala. Ia sampai terkencing-kencing ketika binatang itu memandangnya dengan suara mengeram. Ada lagi yang pernah bercerita kalau melihat seekor ular dengan tubuh sebesar manusia keluar dari jendela rumah Nyonya Fallacia. Itu ular jejadian. Ular pesugihan. Dan Nyonya Fallacia hidup dengan pesugihan itu.
Oh ya, yang juga membuat kami kerap jengkel dan sebal pada Nyonya Fallacia adalah kucing-kucingnya. Ia memelihara banyak sekali kucing. Mungkin lebih dari 50 ekor. Kalau ia selalu membeli daging dan ikan asin, itu untuk makan kucing-kucingnya. Tapi namanya saja kucing, tentu saja selalu bikin masalah. Anda tahu sendiri, kalau kucing itu birahi dan kawin. Selalu ribut dan bising. Suaranya yang terus mengeong tengah malam selalu membuat kami blingsatan. Kucing itu berlarian berkejaran di atap rumah, membuah gaduh dan berisik. Kami sering menyiramnya dengan air panas untuk mengusirnya. Sering kucing-kucing itu masuk rumah mencuri ikan asin atau lauk lainnya. Anak-anak kami yang jengkel dengan kucing-kucing itu sering memburu kucing-kucing itu, menyambitnya dengan batu atau potongan kayu. Tak jarang anak-anak kami mengendap-endap mengincar kucing-kucing itu, dan pada saat yang tepat menghantamkan lonjoran besi ketubuh binatang itu. Tentu saja kami kerap melarang, karna bagaimana pun tak baik meyakiti binatang. Tapi itu malah membuat kami kadang bertengkar sendiri.
“Jangan salahkan anak-anak!”
“Tapi kita tak bisa membiarkan anak-anak kita bersikap kejam pada binatang.”
“Namanya juga anak-anak. Kalau mau menyalahkan, salahkan kucing-kucing itu.”
“Lho, kucing kok disalahkan.”
“Habis siapa dong yang harus disalahkan?”
“Ya yang punya kucing itu…”
Dan kami makin tak suka dengan Nyonya Fallacia.
***
Kucing-kucing itulah yang suatu kali membuat saya berurusan dengan Nyonya Fallacia. Entah bagaimana kejadiannya, anak saya yang berumur 12 tahun mengejar kucing itu sampai ke halaman rumah Nyonya Falacia. Ia diikuti kawan-kawan lainnya. Saat itulah mendadak Nyonya Fallacia muncul. Sebagian anak langsung takut, dan lari pulang. Tapi anak saya terus mengejar kucing itu sambil melemparkan sebongkah batu ke arah kucing yang berlari masuk ke dalam rumah. Batu yang dilempar anak saya tak mengenai kucing itu, tapi tepat menghantam kepala Nyonya Fallacia.
Kejadian itu membuat geger. Beberapa orang bilang Nyonya Fallacia sempat meraung kesakitan, suaranya terdengar seperti anjing yang melolong terkena hantaman batu. Tubuhnya terhuyung, sembari tangannya memegangi kepalanya yang mengucurkan darah. Anak saya segera lari pontang-panting.
Saya yang mendengar kabar itu bergegas mencari anak saya. Ia saya temukan gemetar ngumpet di gudang. Saya mencoba memeluknya. Menenangkannya. Ia menangis sesungukkan. Saya mendengar kabar Nyonya Fallacia pergi ke sebuah klinik dan dirawat. Kepalanya retak. Saya bermaksud menjenguknya. Bagaimana pun saya merasa bersalah. Sebagai orang tua, saya ingin meminta maaf atas tindakan anak saya yang membuatnya celaka. Tetapi beberapa tetangga melarang saya. “Tak usah,” kata Nyonya Li. Dan yang lain mendukung. Saya dianggap hanya akan mencari kerepotan dan menambah masalah bila menjenguk Nyonya Fallacia.
Malamnya, saya menceritakan kejadian itu pada suami saya. Dan ia hanya diam saja. Entah kenapa, saya tak bisa menghilangkan perasaan bersalah saya. Ada sesuatu yang mengganggu saya. Yang terus membuat saya gelisah. Mungkin karna itulah, saya mimpi buruk.
Saya melihat Nyonya Falacia berjalan melayang. Di bawahnya seperti ada sungai yang penuh mayat kucing. Terdengar angin menggemuruh, dan meniup dedaunan yang rontok dari sebatang pohon besar. Saya melihat kain hitam yang dikenakan Nyonya Fallacia berkibaran.  Kerudung yang menutupi kepalanya seperti tangan yang terjuntai, dengan ujungnya yang mirip cakar yang akan mencabik-cabik tubuh saya. Ada kabut dan bau aneh yang melintas. Saya sekilas melihat wajah Nyonya Fallacia yang pucat. Seperti wajah orang sekarat. Kelopak matanya cekung dan menghitam. Rahangnya tirus. Ia tersenyum aneh dan membuat saya merinding dan menjerit…
Saya tergeragap bangun. Suami saya mencoba menenangkan saya, mendekap saya erat-erat. Saya menceritakan mimpi itu. Kemudian saya mengatakan kalau saya ingin minta maaf pada Nyonya Fallacia. “Bagaimana pun kita harus menemui Nyonya Fallacia,” kata saya. “Mimpi buruk ini hanyalah awal ketakutan saya yang bisa jadi akan terus-menerus menghantui saya, kalau saya tidak menunjukkan perasaan bersalah saya atas kejadian yang menimpanya.”
Semula suami saya tak mau membahas itu. Berharap saya melupakan. Tapi mimpi itu selalu datang lagi. Malam-malam saya jadi dipenuhi mimpi buruk dan kecemasan.
Akhirnya suami saya mau juga mengantantar saya menemui Nyonya Fallacia.
***
Saya tak melihatnya terkejut ketika Nyonya Fallacia membuka pintu. Cukup lama saya dan suami saya mengetuk pintu. Kami sempat ingin balik, ketika pintu tak kunjung dibuka. Dan saya sendiri mulai ragu dan cemas. Tapi pada saat itulah pintu berderit, dan sosok Nyonya Fallacia muncul dari pintu yang perlahan terbuka. Tubuhnya lebih kurus. Kulit tangannya saya lihat sepucat mayat. Saya sempat bertatapan dengan matanya. Ada kelembutan yang membuat saya berdebar.
Ia seperti sudah menduga kedatangan saya. Ia hanya mengangguk, dan bicara begitu pelan. Saya tak mendengar jelas apa yang dikatakan, tapi dari gerak tubunya saya tahu kalau ia menyuruh kami masuk.
Suasana seram menyergap kami. Ruangan yang kami masuki begitu remang. Nyaris tanpa cahaya lampu. Hanya ada cahaya matahari yang samar masuk dari sebuah jendela dan dari atap yang terlihat menganga. Bau debu membuat udara ruangan terasa tebal di hidung. Ada kursi tua, sebuah meja dari kayu, foto-foto muram dan suram. Semua seperti sebuah masa silam yang disembunyikan dalam kegelapan yang tak pernah ingin disingkap. Dan yang paling menggetarkan adalah kucing-kucing itu. Di ruangan itu penuh dengan kucing berkeliaran. Beberapa ekor kucing terlihat langsung menggesek-gesekkan tubuhnya di kaki Nyonya Fallacia. Ada yang menjilati kakinya yang memakai selop. Ada juga yang berguling-guling di dekatnya. Seekor kucing melompat dan dengan cekatan Nyonya Fallacia menangkapnya. Kucing itu meringkuk manja dalam pelukan Nyonya Fallacia.
Lalu saya menyadari, banyak juga kucing yang hanya diam. Seperti arca bisu menatap saya. Saya tanpa sadar menggenggam bahu suami saya kuat-kuat. Suami saya seperti menyadari ketakutan saya, lalu merapatkan tubuhnya. Saat itulah saya menyadari: kalau kucing-kucing yang sejak tadi diam itu ternyata kucing yang sudah mati.
Nyonya Fallacia seperti menyadari kegugupan saya.
“Ya, kucing-kucing itu memang sudah mati,” suaranya terdengar seperti muncul dari sebuah arah yang gaib. “Saya tak pernah mengubur kucing-kucing saya yang mati. Saya selalu mengawetkannya. Bagi saya, kucing-kucing itu adalah cinta saya. Bagaimana saya bisa mengubur cinta saya?”
Saya hanya diam. Dan makin merapatkan tubuh ke pelukan suami saya. Bahkan saya dan suami saya hanya terus berdiri ketika Nyonya Falacia mempersilakan kami duduk.
“Suami saya menyukai kucing. Saya yakin, kalian pasti banyak mendengar tentang suami saya. Atau seperti yang sering diceritakan orang: suami-suami saya.” Ia tertawa, terdengar getir. “Mereka pasti bilang saya kawin berkali-kali. Apakah kalian akan mempercayai saya, kalau semua gosip itu tidak benar? Saya hanya mencintai seorang laki-laki. Dan itu suami saya. Suami saya suka sekali kucing. Bagi saya, kucing-kucing ini seperti menghubungkan cinta saya dengan suami saya yang sudah mati…”
Waktu seperti merambat pelan. Suara jarum jam di dinding terdengar begitu jelas dalam keheningan yang panjang. Kami hanya diam sepanjang pertemuan yang singkat tapi terasa bagai berabad-abad. Ketika kami akhirnya pamit, ada yang terasa lega. Saya tak tahu, kenapa saya bisa merasa lega.
Tapi setidaknya, kini saya punya pandangan berbeda tentang Nyonya Falacia.

0 komentar:

Posting Komentar