MEMOTIVASI DAN TERUS MENCARI JATI DIRI

PELACUR GILA

09.47 |


Laksana hamparan bumi hijau yang belum terjamah, ia tidak mengenal perangai-perangai buruk yang saat itu sangat populer di negerinya lantaran anugerah impor dari negeri seberang laut. Mudah-mudahan Tuhan memberkati usaha besar para sarjana pendidikan yang telah melahirkan generasi yang lembut, cinta damai, dan membenci terorisme, namun tak mengenal pembalasan dan senjata. Setelah mabuk dengan teori-teori yang dicekokkan oleh guru-gurunya di negeri-negeri yang memproduksi segala hal sampai barang yang bernama moral, mereka berpendapat bahwa mahluk yang bernama manusia itu seperti lembaran putih yang bisa dicoret-coret sekehendak diri.

Sebagai petani kawakan, aku punya pendapat lain. Aku tak malu mengaku sebagai petani, karena petani punya istilah-istilah yang sulit dipahami banyak orang. Menurut kamus pertanianku, manusia itu bagaikan tanah. Tanah itu kaya dengan unsur-unsur kesuburan dan pertumbuhan, juga selalu siap untuk memberi. Tanah itu tidak negatif ataupun netral. Kalaupun tanah dipenuhi tetumbuhan berduri, dirasuki ulat dan serangga, diserang ular dan hama, dikerami burung gagak dan burung hantu, hal itu tidak lain karena sikap manusia yang tidak menghiraukannya, juga karena kedengkian dan kebencian mereka terhadap warna hijau sejati yang penuh dengan air kehidupan, bukan kebusukan pernis dan cat.

Di sini aku bukan bermaksud untuk menjelaskan teori yang berkaitan dengan pendidikan ataupun budi pekerti. Juga bukan untuk menerangkan tata cara bertani dan menggarap tanah, karena itu adalah wewenang para spesialis di departemen pertanian yang selalu berganti-ganti seiring perubahan musim sepanjang tahun. Di sini aku akan membeberkan sebuah dokumen yang ada kaitannya dengan sebagian persoalan di atas, atau mungkin seluruhnya. Andai saja dokumen ini tidak berkaitan dengan masalah moral yang sangat sensitif dalam pandangan banyak orang, pasti aku akan sebutkan nama, karena aku sangat kenal dekat dengan pelakunya, seperti aku mengenal gilaku.

Pembaca yang terhormat. Dokumen itu berkisah tentang kemunafikan, keculasan, dan lacur bangsa timur. Maaf jika aku agak lancang. Para ustadz di masjid-masjid mungkin tidak rela orang-orang timur dikatakan munafik, culas, juga lacur. Karena ini tidak sesuai dengan kata-kata mereka yang selalu diumbar di setiap kesempatan ataupun tidak, bahwa bangsa barat yang amoral sedang menuju kehancuran. Aku tidak bermaksud mendukung orang barat. Aku bersumpah demi tanah kuburan kakekku -maaf aku tidak bersumpah sesuai undang-undang karena aku hanyalah seorang petani- bahwa memang benar bangunan mereka sudah mulai roboh, namun reruntuhannya mulai menimpa kepala-kepala kita. Dan jika kita tetap diam berpangku tangan, tidak menutup kemungkinan kita adalah orang yang pertama kali terkubur reruntuhan bangunan tersebut.

Suatu hari aku duduk di teras masjid mendengarkan khotbah seorang ustadz yang berapi-api. Suaranya kadang lantang keras kadang lembut sendu. Ia merangkai kalimat-kalimat dengan sedemikian rupa sampai-sampai deretan kata yang keluar seperti bayi yang dilahirkan secara cesar. Terlihat keringatnya menghiasi muka. Gerakan tangan dan kepala serta perut buncitnya menambah semerbak gambaran keserasian antara materi dan isi khotbah. Aku perhatikan para jamaah yang hadir. Ada yang sedang tidur terlelap, mungkin sedang bermimpi indah tentang hari utopia yang sedang digambarkan tanda-tandanya oleh orang yang ada di atas mimbar itu. Sedangkan yang lain laksana batu, terdiam senyap menikmati kelezatan yang disajikan.

Aku pulang ke rumah dengan kepala pusing. Lelah memaksaku terkapar di kasur yang selalu mencaci jasad ini. Kondisi tubuh yang lemah dan umur yang terus bertambah melengkapi rasa sakit yang dapat mempercepat mati. Tiba-tiba saja ada bayangan teman perempuanku menjelma, tepat di hadapanku, di dinding kamar yang pucat abu-abu. Wajahnya terlihat lembut, sumringah, dan optimis. Ia tersenyum hangat kepadaku seperti biasa. Bibir manis serta gigi yang rapih dan putih bersih membuat senyumnya tambah anggun dan menawan. Rambutnya yang hitam pekat terurai panjang dengan indah. Semua itu merasuk ke alam pikiran, menumbuhkan harapan dan kepercayaan. Namun tiba-tiba ia berbalik ketakutan. Ada laba-laba raksasa yang berjalan menuju ke arahnya sembari mengeluarkan air liur kuning lengket dari mulut. Ia berusaha lari namun cakar laba-laba yang penuh dengan bulu kasar dan menjijikan itu mendekapnya kuat. Ia ingin menjerit tapi tidak bisa, seolah ada yang menyumbat di tenggorokan. Ia mengulurkan tangan kepadaku meminta pertolongan, tetapi taring laba-laba itu mencengkram kuat tubuhnya. Semuanya berubah seketika. Rambutnya menjadi putih acak-acakan tak karuan. Pipinya tembem dan menonjol besar. Bibirnya menyatu tak lagi indah. Aku pun terperanjat dan gemetaran. Nafasku habis serasa tercekik. Aku mencoba tuk membuka jendela, namun kakiku tersandung buku yang berserakan di lantai. Aku lemparkan buku-buku itu setiap kali aku lelah bergulat dengan tulisan-tulisan di dalamnya. Aku terjatuh. Darah mengalir dari kening. Aku pun terlapas dari dunia nyata.

Saat tersadar, jendela terbuka lebar dan kertas-kertas berhamburan di dalam kamar. Aku ambil lembaran kertas terdekat yang telah aku beri garis khusus di atas kalimat-kalimatnya. Aku baca, ternyata itu bagian dari dokumen teman perempuanku. Kuseret kaki dengan berat. Aku lihat rupaku di cermin yang miring dan pecah, yang tergantung satu-satunya di dinding. Aku sengaja membiarkannya miring agar aku dapat melihat wajahku dengan jelas. Raut mukaku terlihat ketakutan dan malang. Aku kembali merasa lelah dan letih. Kuambil lembaran kertas itu dan kubaringkan diri di kasur lalu mulai membaca dokumen tentang teman perempuanku itu.

Ia sangat tergila-gila pada seorang laki-laki. Dia sering bercerita tentangnya ke setiap teman perempuan. Di dalam kamar penuh dengan potret-potret lelaki tersebut yang sering terpampang di halaman koran, majalah, dan menghiasai layar televisi saat sedang memberikan seminar, dialog, atau pidato. Ia tak bisa membedakan perasaan kepadanya, campur aduk. Suatu hari saat mengikuti seminar di kampus, ada seorang laki-laki duduk di sampingnya. Ia memakai pakaian mewah dengan parfum yang menyengat hidung. Dengan tatapan ingin tahu, lelaki itu memerhatikan map yang dibawanya. Dalam berkas itu ada foto terbaru yang ia gunting dari majalah. Lelaki itu berkata padanya bahwa ia mengenal lelaki yang ada di potret. Ia adalah teman karibnya.

Ia merasa detak jantungnya terhenti. Pipinya merah merona karena malu. Ia berpikiran orang yang duduk di sampingnya itu mengetahui segala rahasia hatinya. Tahu semua potret yang terpampang di dinding kamarnya. Segera ia tutup kembali map yang dibawanya. Seolah dokumen itu memuat keburukan dirinya. Ia terlihat canggung dan gemetaran. Teman lelakinya meneruskan: “Sudah kubilang aku mengenal orang yang di potret itu. Kalau kamu mau, aku sangat siap untuk mengenalkanmu padanya.” Kalimat terkahir ia ucapkan dengan nada menggoda, namun perempuan itu tidak memperhatikan nada bicaranya. Benarkah bisa bertemu dengan lelaki pujaannya? Menjabat tangannya? Mendengar langsung darinya? Bertanya tentang pikiran-pikiran yang sering ia sampaikan namun belum dimengerti? Perempuan itu merasa terdorong kuat untuk bertemu. Namun bagaimana mungkin bisa menemuinya sedangkan ia tinggal di kota yang jauh. Bagaimana cara meyakinkan keluarganya agar diizinkan pergi. Sekumpulan tanda tanya melayang-layang di benak pikirannya, campur aduk dengan hasrat ingin bertemu, rasa takut, optimisme, dan putus asa.

Jika perasaan yang saling bertentangan ini bercampur baur, maka tak diragukan lagi akibatnya akan menciptakan putaran hebat seperti gasing yang menakutkan. Hanya melihatnya saja akan membuat pusing banyak keliling. Ia ingat perkataan temannya bahwa lelaki pujaannya yang di foto itu akan memberikan kuliah umum minggu depan di kampus. Karena itu mungkin saja ia bisa bertemu setelah acara selesai. Dan teman lelakinya itu sangat siap untuk mempertemukannya. Perasaan aneh merasuki jiwa. Ia membayangkan seandainya hari-hari cepat berlalu seperti menarik tirai kamar. Namun ia juga merasakan ketakutan aneh atas pertemuan nanti.

***

Selama seminar ia tak mengerti satu huruf pun yang disampaikan lelaki yang dikaguminya. Ia hanya terfokus pada gerakan tangannya yang elegan seperti gerakan aktor ulung. Juga pada bibir, raut wajah, dan pandangan matanya yang menyapu ke seluruh yang hadir seolah sedang mencari sesuatu. Para hadirin tediam seolah sedang menyaksikan tukang sulap, bukan seorang pembicara seminar. Ya, ia seperti seorang pesulap. Pesulap ulung! Orang yang mengaguminya begitu banyak, baik laki-laki maupun perempuan. Mereka adalah yang pertama kali tersihir diam membeku, kemudian dengan cepat merembet ke semua yang hadir.

Ia baru tersadar seiring tepuk tangan yang menyeruak di akhir acara. Pembicara merapihkan lembaran materi seminar, semantara para pengagumnya berhamburan ke depan berebut jabatan tangan memberikan ucapan selamat. Seseorang mendekati dan berbisik ke telinganya. Ia tahu orang yang mendekatinya adalah laki-laki yang menemuinya saat seminar dulu. Ia melihat mata pembicara itu tertuju padanya. Ia langsung salah tingkah, gugup dan malu. Lelaki itu terseyum, namun ia tak bisa menebak arti senyuman laki-laki pujaannya tersebut. Yang pasti senyum seperti itu baru dilihatnya, tidak seperti senyum-senyum yang sering ia lihat di foto-foto atau televisi. Teman lelakinya memberitahukan kalau lelaki pujaanya itu bisa bertemu besok malam di paviliun yang telah disiapkan. Kenapa harus besok malam. Mungkin karena dia sibuk, pikirnya.

Sang ibu memperhatikan tingkah laku anak perempuannya yang tidak biasa. Wajahnya kelihatan pucat dan gugup. Ia mengira anak perempuannya itu sedang sakit. Ibunya langsung menuju dapur setelah merasa tenang kalau anaknya hanya sedikit merasa takut dengan ujian yang tetap harus dilaksankan malam hari.

***

Di sebuah ruangan mewah, para penggemar laki-laki dan perempuan duduk-duduk menunggu untuk bertemu dengan lelaki tersohor itu. Ia merasa aneh. Penampilan perempuan-perempuan yang sedang duduk itu seperti orang yang akan menghadiri pesta pernikahan, bukan bertemu dengan seorang cendekiawan. Pipi-pipi mereka dipaksa terlihat seperti darah, merah membara. Sebagian lagi dibuat-buat agar kelihatan merah merona. Bulu mata mereka warna-warni, ada yang biru, hitam, dan cokelat. Mereka terlihat sering sekali membuka tas dan melihat ke cermin. Ia mencuri pandang ke salah satu tas yang dibawa para perempuan. Di dalamnya penuh dengan berbagai macam parfum, bedak berbagai merek, dan peralatan kosmetik lainnya. Sepertinya si empunya memang datang untuk sebuah pertempuran hebat. Mata para lelaki memeloloti mereka dengan lahap. Ia merasa mau muntah. Hampir saja ia lari saat mendengar lelaki yang ia kenal saat seminar itu memanggilnya masuk.

Ia masuk ke sebuah ruangan kecil yang memuat beberapa kursi dan meja. Ada juga buku-buku yang menumpuk. Di dalamnya terdapat guntingan-guntingan kertas. Ada juga halaman-halaman yang terlipat. Ia mengambil salah satu buku. Pengarangnya adalah seorang pemikir barat terkenal. Ia membuka buku itu tepat pada bagian halaman yang terlipat. Lalu membaca kalimat yang di bawahnya telah digarisi warna kuning. Ia teringat kalimat tersebut sering diulang-ulang oleh lelaki pujannya dalam setiap seminar. Mungkin itu bagian dari gagasan-gagasan favoritnya. Cepat-cepat ia tutup kembali buku itu.

Pintu pun dibuka. Untuk pertama kalinya ia melihat lelaki pujaanya dari dekat. Penampilannya sangat berbeda sekali. Mukanya kuning pucat ditambah kerutan dan tonjolan. Di bawah mata terlihat ada bagian bengkak seperti pada orang-orang pecandu narkoba. Kancing bajunya terbuka sampai dada yang mulus seperti perempuan. Laki-laki itu lalu menyalaminya. Tangannya terasa halus dan lengket seperti perut kodok. Lelaki itu mempersilahkan masuk. Ia masuk ke kamar tidur. Di tengah kamar terdapat kasur besar dan juga meja. Di atasnya terdapat berbagai macam air berwarna dan majalah-majalah yang memuat potret-potret perempuan telanjang dengan berbagai pose yang menjijikan.

Lelaki itu memintanya untuk duduk. Ia berusaha untuk menunjukan sifat kelelakiannya saat bicara, namun malah terdengar cengkokan seperti perempuan. Lelaki itu bertanya banyak padanya, namun ia tak bisa mengendalikan diri. Kepalanya dilanda pusing yang hebat. Tubuhnya menggigil. Lelaki itu menuangkan lagi untuknya segelas minuman berwarna. Ia terpaksa meminumnya walaupun rasanya pahit, aneh, dan sangat keras, tapi lidahnya sama sekali sudah tak bisa merasa. Tambah lagi gelas kedua, ketiga dan seterusnya. Kemudian semua yang di hadapanya mulai bergoyang. Ia tak sadarkan diri lalu pingsan. Saat membuka matanya, lelaki itu dalam keadaan telanjang tanpa busana. Ia mengira ini hanyalah mimpi buruk. Ia melihat ke bagian bawah tubuhnya. Ternyata ia juga dalam keadaan telanjang. Ada semacam rasa sakit yang dirasanya di selangkangan paha. Ia sentuh dengan tangan. Jari-jarinya berlumuran darah kuning pekat. Ia terperanjat ketakutan. Ia mau berteriak, namun dua orang laki-laki langsung menyekap. Ia tak tahu dari mana mereka menutup mulut dan menutupi tubuhnya. Ia sekarang ada di jalanan sendiri. Lalu berjalan dan mencoba lari dari jiwanya.

***

Dua minggu penuh ia tak keluar kamar. Hanya sesekali saja. Tak seorang pun berani bertanya padanya. Mungkin jawaban dalam ujian malam yang ia beritahukan pada ibunya tidak sesuai harapan. Sang ibu masuk ke kamarnya. Potert-potret yang terpampang di dinding sudah tidak ada lagi sehingga meninggalkan bekas seperti kusta. Sang ibu mencoba untuk bertanya, namun merasa tak enak hati. Sang ibu berbisisk-bisik ke suaminya. Lalu keheningan menyelimuti saat sang ibu mendekatinya.

Di suatu malam ia mencoba menonton acara televisi untuk menghilangkan rasa bosan menyendiri. Tiba-tiba saja muncul lelaki puajaannya di layar televisi. Ia sangat terkejut, namun berusaha kuat untuk menyembunyikan rasa muak, marah, dan benci. Ia ingin sekali melempar layar televisi itu dengan vas bunga yang ada di atas meja. Penampilan lelaki itu sangat beda sekali. Pandangan matanya mengejek dan liar. Suaranya pecah-pecah dan kotor. Ia tak kuat melihatnya. Ia pun muntah. Sang ibu melirik ke suami dan berkata banyak hal. Sekarang ia tak dapat lagi menolak anjuran suami untuk membawa anak perempuannya ke rumah sakit.

Dokter yang bertugas saat itu adalah dokter spesialis penyakit perempuan. Ia masuk dan dokter mulai memeriksanya. Dokter tersenyum lalu berkata: “Tidak usah hawatir, ini biasa dialami oleh perempuan yang hamil muda. Dan karena ini adalah hamil yang pertama, nanti saya akan tuliskan resep khusus dan saya siap untuk menanganinya sendiri.” Sang ibu yang mendengar perkataan dokter langsung lunglai tak sadarkan diri. Perawat segera keluar menemui suaminya yang langsung lari masuk ke ruang periksa. Di ruang itu ia mendapati anak perempuannya seperti orang mati, sedangkan istrinya dalam keadaan pingsan tak sadarkan diri. Sang ayah menanyakan kejadian yang menimpa istri dan anaknya. Dokter pun langsung menjawab: “Tidak usah hawatir Pak, istri Anda hanya terkena pusing-pusing biasa karena kegembiraan yang meluap.” Tak lama kemudian sang ayah keluar kamar setelah perawat meminumkan obat kepada istrinya. “Terlalu gembira? Gembira bagaimana?” Ujar sang ayah heran. “Senang karena anak perempuannya hamil.” Jawab dokter. “Haaa… haaa… haaa… hamil? Bagaimana dia bisa hamil?” Ia menengok ke arah anakanya yang masih terkulai tak sadarkan diri.

***

Di kantor polisi ia ceritakan peristiwa yang menimpanya itu. Polisi mencatat semua pengakuannya walaupun rasa takut menjalari tangan yang sedang menulis dengan gemetaran. Kemudian perempuan itu dititipkan di rumah sakit lembaga pemasyarakatan. Ia beri tahu semua orang tentang kejadian yang dialamiya. Awalnya mereka mendengarkan namun segera mengabaikan. Di bibir mereka tersungging senyum, senyuman penuh ejekan. Kabar ia di rumah sakit tentu sampai juga ke telinga lelaki pujaannya, namun tak seorang polisi pun berani memanggilnya untuk proses penyelidikan, karena dia adalah orang yang sangat terkenal dan polpuler. Ya, popularitas kadang membuat lingkaran silau segan dan pesona, sehingga dalam kontrolnya manusia sering lupa kalau orang-orang terkenal juga adalah manusia biasa, dan mungkin saja mereka lebih hina dan rendah dibanding lainnya.

Dalam penjara ia mengetahui kalau orang-orang di luar sepakat menganggapnya sebagai pelacur profesional yang menggoda setiap lelaki terkenal. Bahkan para waria pun membuat cerita-cerita bohong dari hayalan sendiri tentang perempuan itu. Ia mulai mogok makan dan menyendiri sepanjang waktu. Kesehatannya memburuk, matanya tambah sendu. Aku adalah satu-satunya orang yang ia temui. Terakhir kali aku bertemu dengannya saat sedang duduk terdiam di sampingku. Tiba-tiab ia berdiri dan teriak-teriak di tengah kerumunan orang yang melihat kami berdua. “Aku perempuan terhormat. Kau yang memperkosaku! Aku bukan pelacur! Katakan pada mereka kalau aku bukan pelacur. Aku bersumpah padamu aku bukan pelacur! Ah, bagaimana lagi aku harus meyakinkan kalian semua. Ya, aku bisa.” Ia ucapkan kata-kata itu sembari mengangkat rok sehingga terlihat bagian paha dan selangkangan. Beberapa perempuan langsung lari berusaha menutup aurat yang sengaja diperlihatkan. Namun ia menolak dan sedemikian rupa melawan.

Aku berjalan menelusuri pintu masuk bangunan yang mereka namakan rumah sakit. Perasaan sedih dan benci menjalari jiwaku. Begitu juga rasa ingin balas dendam begitu kuat dan merongrong pikiranku. Seorang perempuan berkata: “Dia itu pelacur yang berpura-pura gila biar dikasihani!” Aku ingin sekali menampar muka perempuan itu. Di hari berikutnya aku mengunjunginya kembali, namun aku tak bisa bertemu. Katanya ia sudah meninggal. Dalam laporan mereka menuliskan kalau ia terkena penyakit gila akut dan gantung diri dengan seprai kasur. Aku berkata: “Bohong! Itu pembunuhan, bukan bunuh diri!” Perawat itu tak mengerti apa-apa. Tanpa peduli dan tanpa ragu aku lemparkan berkas yang berisi laporan meninggalnya itu.

Peristiwa yang menimpa temanku ini menjadi perbincangan halayak ramai. Perkiraanku kasusnya tidak akan berlalu begitu saja. Orang-orang terus berkomentar tentang kasusnya, seperti tingkah polah mereka yang berbondong-bondong mengadu ke LSM-LSM yang menawarkan produk-produk najis dan tak berguna. Mereka menulis dan menulis. Para makelar, pejabat, pedagang, pelacur, semuanya ikut ambil bagian. Sampai-sampai imam masjid pun merasa perlu berkomentar dan menyayangkan peristiwa itu terjadi. Malahan dia berfatwa kalau perempuan itu sudah kafir karena telah melakukan bunuh diri. Sang imam juga tidak lupa berdoa dengan harapan akhir hayatnya sebagai pelacur gila yang bunuh diri dapat mengakhiri murka Tuhan atas kota yang suci nan mulia ini.

*Diterjemahkan dari buku Malaf Majnun (Dokumen Si Gila) karya Mahdi Emberesh 1991.

0 komentar:

Posting Komentar